Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Sebuah ungkapan rasa syukurku...

Semoga apa yang tertulis di blog ini dapat dibaca dipahami.

Rabu, 15 Oktober 2014

Ruins of Modjophait 1864

Ruins of Modjophait 1864

RUINS OF MODJOPHAIT 1864





      William Barrington d'Almeida adalah pengelana berkebangsaan Inggris yang sempat singgah beberapa tahun di Hindia Belanda. Tulisan ini adalah terjemahan bebas yang saya sadur dari satu bab dalam buku karangannya berjudul LIVE IN JAVA.
Selamat membaca semoga bermanfaat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------

     Sekitar 5 atau 6 mile dari kotaModjokerto terdapat reruntuhan Modjophait. Reruntuhan ini berjarak 2 Mile dari pos Gema Khan (Gemakan ?). Apabila dilihat dari banyaknya jumlah kerang dan sisa perahuyang ditemukan di berbagai bagian reruntuhan kota, dan juga dari kota yang berdekatan, penduduk setempat meyakini bahwa lokasi ini dulunya adalah sebuah kota pelabuhan, yang menurut cerita telah dihancurkan oleh invasi para pengikut Muhammad (tentara Islam) pada masa pemerintahan Sultan Brawidjoyo pada 1400 Masehi.

     Situs ini sekarang dikelilingi pohon-pohon yang banyak dan menjadi tempat pemujaan penduduk setempat yang percaya bahwa situs ini dalah pusat kehidupan nenek moyang mereka dan bahkan menurut mereka, burung-burung yang hidup di wilayah ini bersuara lebih merdu dibandingkan burung di tempat lain.

     Seorang laki-laki yang berasal dari propinsi tetangga memiliki (burung) Marobo, yang ditangkap anaknya dari sebuah hutan. Burung ini berwarna putih sempurna dan langka sehingga mahal harganya. Seorang pangeran kaya yang mengetahui kabar ini menawarkan uang yang banyak untuk membelinya. Sang pemilik menola tawaran menggiurkan sang pangeran.

Sang pangeran yang penasaran segera mengirimkan utusan kedua dengan membawa 4 ekor kuda putih bersih dan 4 ekor kuda hitam dari istal pribadinya. " Tawarkan kuda-kudaku padanya", perintah pangeran. "Aku yakin kali ini ia tidak keberatan melepaskan burung itu".

Namun sang pangeran dipaksa menelan pil pahit karena sang empunya burung tetap tidak mau melepas mahluk kesayangannya itu.

"Saya tidak akan melepaskan burung ini walaupun ditukar dengan benda yang paling berharga dari istana Soesuhunan (Susuhunan) sekalipun karena burung ini adalah berkah yang akan mendatangkan kesialan apabila saya jual", demikian keyakinan pemilik burung.

Cerita yang demikian memberi gambaran kepadaku bagaimana berharganya burung yang berasal dari hutan di wilayah ini.

Di atas suatu gundukan tanah yang besar terdapat sisa-sisa pintu gerbang tembok kota. Menara pada ke dua sisinya kini sekitar 35 kaki tingginya, namun dari apa yang tampak mungkin sekali dahulunya jauh lebih tinggi dari ini. Materi yang dipakai adalah bata merah yang direkatkan dengan semen dan terpisah sejauh 10 kaki.

Sejajar dengan tanah terdapat rongga dimana poros gerbang berputar, terlihat lebih aus sebagai akibat dari berfungsinya pintu pada waktu yang lama. Menara di sisi kanan pada salah satu sisinya mempunyai batas atas dan bawah, sudutnya dari bata dan berbentuk ekor merpati. Di bawahnya terdapat relung yang mungkin dahulunya menjadi tempat berdirinya patung.

Dindingnya terus menyambung dari pintu gerbang ini dan pastilah sepanjang 10 mil persegi panjangnya, namun yang tersisa sekarang hanya tinggal sedikit sekali.

Menara di sisi kiri sepenuhnya tertutup oleh jalinan akar sebuah pohon yang tinggi yang sebaran cabangnya menutupi pintu gerbang laksana sebuah payung yang besar.

Dari sini,kami berkereta 1 mil lagi hingga sampai ke telaga buatan atau tempat pemandian kerajaan Modjophait kuno. Telaga ini berbentuk bujur sangkar, dan sisi yang mengelilinginya sepanjang setengah mil.

Dindingnya berketebalan 4 kaki, terdiri dari bebatuan yang terlihat sangat kokoh pada jamannya.
Pada kedua sudut yang terjauh dari posisi saya terdapat reruntuhan 2 rumah kecil yang besar kemungkinan dulu dipakai untuk beristirahat sebelum atau sesudah mandi. Di depan telaga terdapat anak tangga yang sudah bobrok kondisinya.

Tologo ini, sebagaimana orang-orang menyebutnya, sebagian dikelilingi oleh pohon beringin,phon Yetty, dan pohon Verengen dan di ujung telaga terdapat jalan yang bagus.
Di atas telaga........ hlm 308
 

DJAWA DI ATAS KANVAS

DJAWA DI ATAS KANVAS

 1899: Suasana sebuah jalan di Batavia, Jakarta tempo doeloe. Pelukis: P. Aitton



 1865-1872: Gunung Tangkuban Perahu dilihat dari Pelantungan. Lukisan J.S.G. Gramberg

 1865-1876: Anak-anak mengembalakan kerbau di Jawa. Lukisan Frans Lebret (1820-1909)

 1859: Pelabuhan Sunda Kelapa di sungai Ciliwung, Jakarta, Lukisan: Charles Theodore Deeleman

 1656: Benteng di Batavia, di lihat dari Kali Besar Barat dengan pasar ikan di latar depan.
Lukisan Andries Beeckman
 Sebelum 1950: Suasana sebuah perkampungan

 1900-1950: Pendaratan di Banten. Pelukis W. Leijdenroth van Boekhoven

 Sebelum 1942: Daerah Karang Sambung di tepi sungai Cimanuk river. Lukisan R. Toelaer

 1935: Gunung di daerah Preanger (Priangan), Jawa Barat. Lukisan: Abdullah Suriosubroto (1878-1941)

 1899: Pemandangan Kebun Raya Bogor

 1800/1900: Jalan raya pos di daerah Bogor

 1825: Pos penjagaan Belanda di Anyer, Jawa Barat

 Sebelum 1851: Pengambilan air minum untuk keperluan kapal di Anyer

1662: Benteng Ryswick di Batavia bagian selatan, dibangun sebulan setelah pembangunan Benteng Jacatra, pada bulan Agustus 1656. Benteng Rijswijk berlokasi di tepi timur Kali Krukut; dibangun di tengah persawahan. Benteng Rijswijk dikosongkan pada tahun 1697, kemudian pada 1729 ditinggalkan

FOTO-FOTO INLANDER

NLANDER

FOTO-FOTO INLANDER

     Foto-foto berikut saya dapatkan dari berbagai sumber di internet. Tidak ada maksud apapun selain bahwa saat saya melihat gambar gadis-gadis jaman behuela ini, saya teringat tentang konsep 'cantik' yang konon katanya dapat berubah-ubah dari jaman ke jaman.
     Di jaman sekarang, seseorang dikatakan cantik apabila memiliki wajah tirus, simetris, langsing namun padat berisi, berambut lurus dan modis. Pendeknya, anda cukup berpenampilan semirip mungkin dengan boneka Barbie dan anda akan menarik perhatian banyak lawan jenis. Beberapa ratus tahun yang lalu di Eropa seorang gadis yang berkulit putih pucat, montok dan berkorset mahal lah yang dibilang cantik. Alasannya karena gadis tersebut pastilan seorang bangsawan yang jarang bekerja keras dibawah terik matahari. Di Samoa, cantik berarti berbadan gemuk karena ini merupakan simbol kemakmuran.
Trend cantik berbeda dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu jaman ke jaman yang lain.
Coba anda bayangkan anda hidup di masa kolonial sekitar tahun 1900an, mungkin gadis-gadis dalam foto dibawah ini lah yang mencuri hati anda.
     Mereka-mereka yang cukup beruntung terabadikan dalam foto di bawah ini mungkin sekali adalah orang-orang pilihan. Yang saya maksudkan adalah bahwa berfoto sudah tentu merupakan hal yang amat sangat langka pada masa itu. Tebakan saya, kalau tidak berprestasi, tidak cantik, tidak kaya, atau tidak memiliki keistimewaan tertentu pastilah mereka tidak mungkin menjadi obyek foto yang menarik sang juru foto.
     
















LUKISAN PEMANDANGAN MALANG RAYA 1900

LUKISAN PEMANDANGAN MALANG RAYA 1900

     M.E.H.R. Van Den Kherkoff (1830-1908) saya copy lalu paste kan ke Google. Beberapa nama yang mirip muncul, namun sama sekali bukan individu yang coba saya telusuri riwayatnya di atas.
     Saya belum menemukan hal ikhwal beliau siapa. Namun melihat apa yang ditinggalkannya bagi kita, saya menebak barangkali beliau adalah seorang pelukis profesional, atau kalau pun bukan, yang jelas melalui mata dan goresan beliau saya bisa membayangkan bagaimana keadaan kota tempat tinggal saya Malang dan sekitarnya seratusan tahun yang lalu.
      Malang sangat teduh dan asri alamnya, namun itu dulu. Kini Malang penuh sesak ditumbuhi ruko dan didatangi ribuan pendatang baru tiap tahunnya. Semakin sesak dan menyesakkan untuk di huni.
 
     Sekilas melihat lukisan-lukisan beliau di bawah, saya teringat lukisan-lukisan yang biasanya ada pada kalender jaman saya kecil. Gaya dan obyeknya mirip sekali. Kherkoff secara tidak sadar pernah menjadi trend setter juga rupanya :-)
 



1898 Sungai Brantas

 1891: Kali Bangak di pegunungan Kawi, Malang

 1889: Sungai Brantas, Malang

 1889: Sungai Brantas, Malang

 Sebelum 1890: Perkampungan di Malang

 1891: Pemandangan sungai Brantas, Malang

 1891: Pemandangan sungai Brantas, Malang

 1891: Pemandangan sungai Brantas, Malang

1889: Air terjun di sungai Metro, Malang

Foto-foto Borobudur 1866-1951

Foto-foto Borobudur 1866-1951

BOROBUDUR

Penemuan Kembali Hingga Pemugarannya Sejak Jaman Kolonial


Lukisan Karya G.B Hooijer (buatan ttahun 1916-1919) menggambarkan masa jaya Borobudur






Selama berabad-abad Borobudur tersembunyi dan terlantar terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui.

1866

                                                                                1866

                                                                               1866


                                                                                1866

 Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini. Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu, ada dugaan bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
1870

1872

1872

1873

1888
                                                 
1888

 Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan.
Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja.

Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian.

Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.

1888
 Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.

1890
Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama. Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
 1890-1891

1890
  1890-1891

 1890-1891


 1890-1891


 1890-1891

 1890-1891

 1901

 1910

 1910

  1910

  1911

 1920
1920

 1920
 1920

 1920

1927 
 1910

 
 1910

 1910

 1910

 1910
                                                      
1915

 1925


1925


1939


1939

1951
Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859.
Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen. Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.

Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896,Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.

Borobudur's timeline

  • 1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
  • 1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.
  • 1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan candi Borobudur.
  • 1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.
  • 1926 - Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan Perang Dunia II.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More