Strategi
Perang Raja-raja Jawa Kuno
Abstraksi
Dari karya-karya sastera
masa Jawa Kuna terdapat gambaran bahwa pada masa itu telah
dikenal strategi perang yang disebut byūha atau wyūha.
Strategi perang yang disebutkan dalam karya-karya sastera itu hanya empat
berasal dari Arthaśāstra (India) dan sisanya adalah strategi
perang Jawa asli.
Berdasarkan beberapa kasus peperangan yang terjadi pada masa Jawa Kuna dapat diketahui bahwa strategi perang berupa serangan mendadak merupakan
strategi yang paling banyak dipakai oleh raja-raja Jawa.
Abstract
Old Javanese manuscripts
had depicted about the war strategies which were known as byūha or wyūha. Old
Javanese people had known around ten byūhas, four of them derived from
Arthaśāstra (India) and the rest were Old Javanese original tactics of war.
Based on the cases of war which were happened in the past, we had known that the frontal strategy was the most used by the kings of Old Javanese kingdoms.
Based on the cases of war which were happened in the past, we had known that the frontal strategy was the most used by the kings of Old Javanese kingdoms.
1. Pendahuluan
Dari data prasasti masa Jawa Kuna diperoleh gambaran bahwa sejak
berdirinya kerajaan Matarām Kuna, tahun 717 M. sampai dengan runtuhnya kerajaan
Majapahit pada awal abad ke-16 Masehi, sering terjadi peperangan, baik
peperangan yang terjadi antar kerajaan, peperangan antara kerajaan pusat dengan
kerajaan vasal, maupun peperangan di dalam kerajaan itu sendiri. Adapun
motivasi terjadinya peperangan dapat saja karena perebutan takhta, perluasan
wilayah (ekspansi), maupun karena balas dendam.
Menurut pengertian populer, perang ialah suatu konflik antara
beberapa kelompok politik yang terlibat dalam suatu permusuhan yang lama dan
dalam skala besar, sedangkan menurut Carl von Clausewitz (1780-1831)
perang ialah perkembangan social dan tindakan politik. Perang bukan hanya
tindakan politik melainkan juga sebuah alat politik yang konkrit, suatu
kelanjutan kebijaksanaan yang dilanjutkan ke yang lain (Lapian t.t.:1, 20).
Dilihat dari beberapa teori tentang perang, dalam dua aliran pemikiran, yaitu
teori yang menghubungkan perang dengan faktor biologis dan psikologis tertentu
yang melekat pada manusia, dan teori yang menghubungkan perang dengan hubungan
sosial dan pranata sosial tertentu.
Berbicara mengenai perang maka tidak terlepas dari strategi perang
yang dipakai dalam suatu peperangan. Kata strategi itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani strategos, yang secara sempit dirumuskan sebagai “seni seorang jenderal”. Istilah itu muncul karena
pada mulana strategi berkaitan dengan siasat militer bagaimana seorang jenderal
berusaha mengelabui musuh, dan membagi-bagi pasukannya dalam perang. Dalam
teori perang, strategi dan taktik umumnya ditempatkan dalam dua kategori yang
berbeda. Dua bidang ini secara tradisional dirumuskan menurut dimensi yang
berbeda. Strategi berkenaan dengan raung yang luas, jangka waktu yang lama,
serta gerak militer besar-besaran; sedangkan tatktik merupakan aplikasi dari
strategi. Dengan demikian strategi diartikanprelude
(pendahuluan) sebelum terjun ke medan pertempuran, sedangkan taktik adalah
kegiatan di medan perang. Oleh karena itu, lanjut Lapian (t.t.:12–14), kebanyakan pustaka dan teori
mengenai strategi di masa lampau memusatkan perhatian kepada persiapan yang
sebaik-baiknya sebelum berangkat ke medan perang, bagaimana memimpin pasukan
sampai saatnya bertemu musuh. Keadaan ini menjelaskan mengapa lebih banyak
perhatian diberikan kepada manuver strategis, yang ditujukan untuk menempatkan
pasukan sendiri dalam posisi yang menguntungkan agar memaksa musuh berada dalam
posisi yang merugikan dan membatasi musuh untuk bergerak secara bebas.
Dari kesusateraan Jawa Kuna terdapat bukti bahwa orang pada masa
itu telah mengenal strategi perang, antara lain dari kakawin Bhāratayūddha,
yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Jayabhaya dari
kerajaan Kadiri pada tahun 1019 Śaka (1157 M.)*1.
Kakawin ini menuliskan tentang bermacam-macam jenis byūha/wyūha (strategi perang) yang dilakukan oleh Pandawa dan Kaurawa dalam peperangan yang langsung berhadapan dengan musuh atau serangan
frontal.
§ *1. Angka tahun dalam kakawin Bhāratayūddha ditulis dalam bentuk
candra sangkala yang berbunyi śāka kāla ri sanga kuda śuddha candrama
(Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja 1957:24; Wirjosuparro 1968:41).
———-
Sehubungan
dengan strategi perang, Wirjosuparto (1968:21–22) berpendapat bahwa di
Indonesia telah dikenal strategi perang sāma-bheda-dańůa yang bersumber dari
kesusateraan India yang berjudul Arthaśāstra antara lain menuliskan tentang
pengetahuan politik, termasuk politik menghancurkan musuh, yang juga merupakan
kitab pegangan keluarga raja-raja
Gupta yang pernah mempersatukan sebagian besar India. Selanjutya
Wirjosuparto menjelaskan bahwa meskipun sāma-bheda-dańůa diambil
dari kitab Arthaśāstra, akan
tetapi pengertian strategi tersebut dituliskan dalam kakawin Arjunawiwāha yang
digubah oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan raja Airlangga (1019–1049)
dan kakawin nitiśāstra yang
diperkirakan berasal dari akhir masa Majapahit*2,
maka strategi perang sāma-bheda-dańůa itu
dikenal dan dipelajari di Jawa.
———-
§ *2. Penggubah kakawin Nitiśāstra tidak diketahui, tetapi dari gaya
bahasa dan susunan katanya diperkirakan berasal dari masa Majapahit akhir.
———-
Adapun inti ajaran yang
dikemukakan dalam sāma-bheda-dańůa adalah: pertama bahwa setiap raja yang ingin
membinasakan musuh-musuhnya wajib mencari sekutu (sāma) di antara kerajaan-kerajaan yang berhubungan baik, dengan
perhitungan bahwa jika terjadi perang maka kerajaan yang menjadi sekutunya
diharapkan memberikan bantuan atau setidak-tidaknya bersikap netral; kedua
ialah dengan memecah belah (bheda);
dan terakhir apabila memecah belah kerajaan-kerajaan musuh telah tercapai maka
yang dilakukan ialah memukul (dańůa) musuhnya
yang telah lemah (Wirjosuparto 1968:22).
Untuk masa lebih kemudian kita
mendapatkan keterangan mengenai beberapa strategi perang dari Dagh-Register VOC antara strategi militer
Jawa dalam berperang, yaitu: (1) penyerbuan secara tiba-tiba (surprises attack); (2) merubuhkan pohon-pohon ke
jalan raya sehingga jalan tertutup dan menghalangi serangan musuh, terutama
menghalangi konvoi kereta barang; (3) memutuskan suplai makanan yang merupakan
titik lemah sehingga dapat memaksa musuh menyerah karena kelaparan; dan (4)
memutuskan suplai air dari bendungan sungai (Schrieke 1957:132–135).
Sehubungan dengan itu, maka dalam tulisan makalah ini akan dicoba
membuktikan asumsi Wirjosuparto yang menyebutkan bahwa strategi dan taktik
perang sāma-bheda-dańůa telah dikenal dan dipelajari di Jawa, yang dalam kasus
ini akan diterapkan pada raja-raja Jawa pada abad ke-8–15 Masehi. Di samping
itu juga akan dibicarakan mengenai beberapa strategi perang yang dipakai pada
masa Jawa Kuna. Untuk keperluan tersebut dipakai data tekstual berupa prasasti,
karya sastera, dan berita Cina dari masa yang sezaman.
2. Strategi Perang
Raja-raja Jawa pada Aba
Seperti telah diutarakan sebelumnya, dari data prasasti
diketahui adanya peperangan, baik karena perebutan takhta, perluasan wilayah,
atau balas dendam. Dalam peperangan-peperangan tersebut dapat dilihat
strategi-strategi perang yang dipakai pada masa Jawa Kuna. Pertama, strategi
yang dipakai adalah serangan yang mendadak atau surprise attack. Sebagai contoh ialah
peperangan yang terjadi antara Śrī
Dharmmawangśa Těguh Anantawikramottunggadewa (991–1016 M.) dari
kerajaan Matarām Kuna dengan raja Wurawari*3 yang
merupakan salah satu raja bawahannya.
———-
§ *3. Daerah Wurawari diperkirakan di sebelah selatan Karang Kobar,
Banyumas(Schrieke 1959:215, 294).
———-
Serangan raja
Wurawari terjadi tidak lama setelah perkawinan puteri Dharmmawangśa Těguh dengan Airlangga,
sehingga para pakar Sejarah Kuna memperkirakan bahwa raja Wurari tadinya mempunyai ambisi untuk menikah
dengan puteri mahkota dan menggantikan Dharmmawangśa
Těguh. Akan tetapi yang dipilih oleh Dharmmawangśa Těguh sebagai menantu
adalah kemenakannya yang berasal dari Bali. Seperti disebutkan dalam sumber
tertulis, Airlangga adalah
putera Mahendradattā
Guńapriyadharmmapatnī, adik Dharmmawangśa Těguh yang
menikah dengan raja Udāyana dari wangsa
Warmmadewa di Bali. Oleh karena tidak berhasil menikahi puteri Dharmmawangśa
Těguh, raja Wurawari merasa kecewa dan dalam melampiaskan kekecewaannya, ia
melakukan serangan mendadak ke
istana Dharmmawangśa Těguh. Adanya serangan mendadak menyebabkan Dharmmawangśa
Těguh tidak berdaya dan menemukan ajalnya dalam peperangan itu, sedangkan
Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan ditemani pelayannya yang setia
bernama Narottama*4.
Contoh serangan mendadak lainnya ialah peperangan yang terjadi
antara Kěrtanagara (1268–1292
M.), raja kerajaan Singhasāri yang
terakhir, dengan Jayakatwang (1271–1293
M.) dari kerajaan Gělang-gělang atau Gěgělang*5. Kěrtanagara tidak menyangka akan adanya serangan mendadak dari
raja Jayakatwang yang merupakan raja bawahannya dan juga masih iparnya. Pada
saat adanya serangan, Kěrtanagara sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi
ancaman Kubhilai Khan dari Mongol. Adapun sebabnya ia berseteru dengan Mongol ialah ketika utusan
Kubhilai Khan bernama Meng-ch’i datang
ke Singhasāri pada tahun 1298 M untuk minta
pengakuan tunduk kepada kerajaan Kubhilai Khan, permintaan itu ditolak dan
Meng-ch’i dilukai mukanya. Penganiayaan terhadap utusannya itu oleh Kubhilai
Khan dianggap sebagai penghinaan besar dan pernyataan perang dari
Kěrtanagara. Maka pada awal tahun 1292
M. berangkatlah tentara Mongol untuk menaklukkan Jawa yang dipimpin tiga
panglima perang, yaitu Shih-pi, Ike Mese (Iseh-mi-shih), dan Kao-hsing.
———-
§ *4. Setelah Airlangga menjadi raja, Narottama diangkat sebagai rakryān kanuruhandengan gelar Mpu Dharmmamurti Narottama Danasura.
§ *5. Dalam Sěrat Pararaton, Kaůiri disebut sebagai Gěgělang yang beribukota di Daha, padahal dalam prasasti Mūla
Malurung yang berangka tahun 1177
Śaka (1255 M.),Gělang-gělang adalah
ibukota dari kerajaan Wurawan.
Nama Kadiri sendiri
telah dikenal sejak masa Airlangga. Pada masa Airlangga, Daha merupakan ibukota kerajaanPanjalu yang kemudian dikenal dengan nama Kadiri (Djafar 1978:112).
———-
Pada saat itulah Jayakatwang menyerang Kěrtanagara. Atas hasutan patihnya, Aryya Wiraraja, yang mengatakan bahwa
kewajiban seorang ksatrya adalah menghapus aib seperti yang diderita oleh
leluhurnya. Seperti ditulis dalam Sěrat
Pararaton*6 , Kěrtajayaatau Dandang
Gěndis, raja Kadiri terakhir, dikalahkan oleh Ken Angrok dari Tumapelpada tahun
1144 Śaka (1222 M.). Pada tahun itu juga Ken
Angrok mendirikan kerajaanSinghasāri dan Kadiri menjadi bagian dari kerajaan
Singhasāri. Dengan adanya hasutanAryya
Wiraraja, Jayakatwang, bertekad membalas dendam kematian leluhurnya(Kěrtajaya) oleh leluhur raja Kěrtanagara (Ken Angrok). Sebenarnya Jayakatwangadalah salah satu raja daerah kerajaan Singhasāri yang berkuasa
di Wurawan. Ia
juga adik ipar Kěrtanagara karena
ia menikah dengan puteri dari Wisnuwarddhana yang
bernama Turuk Balī.
———-
§ *6. Sěrat Pararaton atau Katutunira Ken Angrok ditulis dalam
bentuk gancaran(prosa) berbahasa
Jawa Tengahan, berasal dari masa Majapahit akhir. Hasan Djafar (1978:25)
berpendapat bahwa Sěrat Pararaton ditulis tidak lama setelah tahun 1481 M.,
pada masa pemerintahan raja Girīndrawarddhana
Dyah Rańawijaya. Pendapatnya ini dilandaskan pada peristiwa terakhir yang
disebutkan yaitu gunung meletus yang terjadi pada tahun 1403 Śaka (1481 M.). Adapun isi Sěrat Pararton ialah tentang
kronik raja-raja sejak kerajaan Singhasāri sampai kerajaan Majapahit.
———-
Menurut Sěrat Pararaton, dalam
usaha meruntuhkan kerajaan Singhasāri,
Aryya Wiraraja atau Banyak
Wide tadinya adalah pejabat tinggi yang berkedudukan di pusat,
akan tetapi karena ia mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan Kěrtanagara, oleh Kěrtanagara ia
dipindahkan menjadi adipati di Sumenep,
Madura. Ia merasa sakit hati oleh perlakuan Kěrtanagara tersebut sehingga ia menghasut Jayakatwang untuk membalas dendam kepada Kěrtanagara dan berjanji akan memberitahu Jayakatwangsaat yang tepat untuk menyerang Singhasāri. Pada waktu sebagian kekuatan tentaraSinghasāri sedang berada di Malayu, Aryya Wiraraja menulis surat
kepada Jayakatwangsebagai
berikut:
“Pukulun, patih aji matur
ing paduka aji, aněnggěh paduka aji ayun abuburu maring těgal lama, mangke ta
paduka aji abuburua, duwěg kaladeçanipun tambontěn wontěn baya, tambontěn
macanipun, tambontěn bańőengipun, muwah ulanipun, rinipun, wontěn macanipun
anging guguh” (Brandes 1826:18).
Artinya:
Hamba, patih Yang Mulia, memberitahukan Paduka Raja, apabila Paduka ingin berburu ke tegal lama, sekaranglah saat yang tepat Paduka berburu, pada saat ada kesempatan baik. Tidak ada bahaya, tidak ada harimau, tidak ada banteng, juga ular (dan) musuh, ada harimau tapi giginya sudah ompong.
Hamba, patih Yang Mulia, memberitahukan Paduka Raja, apabila Paduka ingin berburu ke tegal lama, sekaranglah saat yang tepat Paduka berburu, pada saat ada kesempatan baik. Tidak ada bahaya, tidak ada harimau, tidak ada banteng, juga ular (dan) musuh, ada harimau tapi giginya sudah ompong.
Jayakatwang tidak
menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dalam penyerangannya ia memakai
siasat makara wyūha (Sumadio
1993:418, cat. no, 89) yaitu dengan melancarkan serangan dari dua arah, dari
utara dan selatan. Pasukan yang menyerang dari utara hanya merupakan siasat
yang memancing agar pasukan kerajaan Singhasāri keluar dari keraton.
Siasatnya
ini berhasil, karena dengan adanya serangan dari utara, maka pasukan Singhasāri
di bawah pimpinan Raden Wijaya*7 dan Arddharaja,
anak Jayakatwang yang
juga menantu Kěrtanagara,
menyerbu ke utara dan mengejar musuh yang selalu bergerak mundur. Pada waktu
kekuatan di keraton Singhasāri lemah lalu pasukan. Jayakatwang yang berada di
selatan menyerang keraton dan dapat membunuh Kěrtanagara yang sedang melakukan
upacara keagamaan*8.
———-
§ *7. Raden Wijaya atau Narāryya Sanggramawijaya adalah nama
anak Dyah Lěmbu Tal. Ia
adalah pendiri kerajaan Majapahit yang naik takhta pada tahun 1293. Setelah ia
menjadi raja bergelar Śrī Kěrtarājasa
Jayawarddhana.
§ *8. Dalam Sěrat Pararaton (Brandes
1897:19), ketika ada serangan dariJayakatwang, Kěrtanagara disebutkan sedang bermabuk-mabukan (sira bhaőāra çiwa buddha pijěr anadah sajöng = Beliau Bhatara
Siwa Buddha terus menerus meminum tuak). Sebenarnya pada saat
itu ia sedang melakukan upacara keagamaan. Oleh karena ia adalah penganut
agama Buddha Tantrayana yang
telah mencapai tingkatan sūnyaparamānanda atau tingkatan hidup sebagai Adibuddha yang abadi, yang
mengecap kebahagiaan tertinggi. Dalam tingkatan ini tidak ada lagi yang
terlarang baginya, juga menikmati pañcamakara, yaitu maithuna (hubungan seksual), madya (minuman keras), mamsa (daging), matsya (ikan), dan mudra (sikap tangan yang menimbulkan kekuatan gaib) (Sumadio
dkk. 1993:416–417).
———-
Bahwa Kěrtanagara tidak menyangka dapat serangan mendadak
dari Jayakatwang,
terlihat dari ketidakpercayaannya ketika diberitahu ada serangan dari Daha, ia
malah berkata: “kadi pira sirāji Jaya
Katong mangkonon ring isun, apan sira huwus apakenak lawan isun”,
artinya betapa tega Jayakatong berbuat begitu kepadaku, padahal ia bersaudara
denganku (Brandes 1896:19).
Selain strategi yang melakukan serangan secara tiba-tiba, juga
ada strategi perang yang dilakukans secara frontal, yaitu serangan yang
dilakukan dengan berhadap-hadapan dan terbuka. Dari kesusateraan Jawa Kuna
didapatkan gambaran bahwa dalam perang frontal, pasukan yang maju ke medan
perang diiringi oleh tetabuhan. Sebagai contoh dalam kakawin Arjunawiwāha pupuh 23.2–3 digambarkan situasi
bagaimana di antara ramainya suara barisan tentara yang bersorak-sorak
terdengar bunyi gendang, ketipung (terompet), gong,
dan gemuruh tambur (Poerbatjaraka
1926:45–46; Wiryamartana 1990:104, 160).
Selama peperangan, tabuh-tabuhan tersebut terus dibunyikan, ini
terlihat dari kalimat pada pupuh
25.5 yang menggambarkan bagaimana bunyi gong dan riuh genderang
tidak lagi terdengar karena terkalahkan oleh oleh bunyi perisai
berdentang-dentang, gemerincingnya golok, dan gelegar konta mengenai gajah.
Ditambah dengan lenguhan orang yang menghembuskan nyawa, yang mengaduh, dan
pekikan orang yang menyerang(Poerbatjaraka 1926:49;
Wiryamartana 1990:107, 164).
Gambaran adanya pasukan perang yang sedang berjalan menuju medan
perang dengan membawa tetabuhan digambarkan pada Candi Panataran (abad 12–14 M.). Dalam
relief yang menceritakan kisah Rāmayana terdapat
adegan pasukan kera yang akan berperang dengan pasukan raksasa dari Alengka, di
antara pasukan kera itu ada dua ekor kera yang membawa tetabuhan yang berupa
gong.
Peperangan
secara frontal ini dapat dilihat dalam perebutan takhta kerajaan Matarāmyang terjadi sekitar abad ke-9 M. antara Rakai Pikatan (850–856 M.) dan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Menurut prasasti Siwagěrha yang berangka tahun 778 (856 M.), peperangan ini berjalan
selama satu tahun. Dalam peperangan ini, anak
bungsu Rakai Pikatan yang bernama Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapāla (856–882) sebagai pemimpin
pasukan yang gagah berani berhadapan dengan pasukan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Sekali waktu Rakai Kayuwangi berhasil memukul
mundur Rakai Walaing yang
menyebabkan Rakai Walaing mengungsi sampai ke atas bukit Ratu Baka dan membuat benteng di
sana. Lokasi bukit ini sangat strategis sehingga Rakai Kayuwangi
mengalami kesulitan untuk menggempurnya, tetapi berkat keuletannya, akhirnya ia
berhasil menggempur pertahanan Rakai Walaing di bukit Ratu Baka.
Contoh
perang frontal lainnya ialah perang antar saudara yang dikenal dengan peristiwaparěgrěg. Peperangan ini terjadi antara Wikramawarddhana atau Bhra Hyang Wiśesa (1389–1400 M.) yaitu
keponakan sekaligus menantu raja Hayam
Wuruk (1350–1389 M.)yang berkuasa di kedaton
kulon dengan Bhre
Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari selir yang berkuasa di kedaton wetan. Menurut Sěrat Pararaton, persengketaan antar keduanya
mulai terjadi pada tahun 1323 Śaka (1401 M.), dan
tiga tahun kemudian persengketaan makin memuncak sehingga terjadi peperangan.
Pada awalnyaWikramawarddhana dapat
dikalahkan oleh Bhre Wirabhūmi,
tetapi setelah mendapat sokongan dari Bhre
Tumapel Bhra Hyang Parameśwara, peperangan ini diahiri
oleh kekalahan Bhre Wirabhūmi pada
tahun 1328 Śaka (1406 M.).
Bertepatan dengan peristiwa tersebut, kaisar
Ch’ěng-tsu dari Cina mengirimkan utusannya, Laksamana Chěng-Ho, ke Jawa pada
tahun 1405 M. Setahun
kemudian Chěng-ho menyaksikan kedua raja di Jawa sedang berperang, kerajaan
bagian Timur kalah dan keratonnya dirusak. Pada saat terjadi pertempuran,
utusan Cina sedang berada di kerajaan bagian Timur dan 170 tentara Cina tewas
karenanya. Kaisar Cina sangat marah atas kejadian tersebut, dan ia
menuntut Wikramawarddhana agar
membaya denda sebanyak 60 ribu tail emas. Pada tahun 1408 M., ketika Chěng-ho diutus
lagi ke Jawa, ia menerima pembayaran denda 10 ribu tail emas. Meskipun jumlah
yang diberikan oleh Wikramawarddhana tidak
sesuai dengan tuntutannya, Kaisar
Cina tidak marah malah mengembalikan uang tersebut, karena bagian yang penting
bukan uangnya melainkan Wikramawarddhana mengetahui kesalahannya (Groeneveldt
1960:36–37).
Dalam kesusasteraan Jawa Kuna disebutkan adanya strategi perang
frontal yang disebut wyūha. Misalnya kakawin Bhāratayūddha menyebutkan
adanya 10 macam wyūha, yaitu
1. wukir sagara wyūha (susunan pasukan
berbentuk bukit dan samudera).
2. wajratikśna wyūha (susunan pasukan
berbentuk wajra).
3. kagapati/garuda wyūha (susunan pasukan
berbentuk garuda).
4. gajendramatta/gajamatta wyūha (susunan pasukan
berbentuk gajah ngamuk).
5. cakra wyūha (susunan tentara berbentuk cakra).
6. makara wyūha (susunan pasukan berbentuk makara).
7. sūcimukha wyūha (susunan pasukan
yang ujungnya seperti jarum).
8. padma wyūha (susunan pasukan berbentuk bunga
teratai).
9. ardhacandra wyūha (susunan pasukan
berbentuk bulan sabit).
10. kānannya wyūha (susunan pasukan
berbentuk lingkaran berlapis).
(Wiryosuparto 1968:30–40).
Menurut Kats dan Wirjosuparto, jumlah wyūha yang disebutkan
dalam kakawin Bhāratayūddha berbeda dengan yang disebutkan dalam karya sastera
Kamandaka yang hanya menyebutkan 8 macam
wyūha, yaitu :
1. garuda wyūha.
2. singha wyūha (susunan pasukan berbentuk singa).
3. makara wyūha.
4. cakra wyūha.
5. padma wyūha.
6. wukir sagara wyūha.
7. arddhacandra wyūha.
8. wajratikśna wyūha .
(Wirjosuparto 1968:29;
Kats 1923:240)*9.
Dari hasil perbandingan, ternyata hanya ada empat jenis wyūha
yang telah disebutkan di muka yang sama dengan kitab Arthaśāstra, yaitu kitab tentang
strategi perang yang berasal dari India*10. Keempat strategi perang itu adalah garuda wyūha, sūcimukha
wyūha, wajra(tikśna) wyūha, dan ardhacandrika wyūha; sedangkan jenis-jenis
wyūha lainnya, yaitu wukir sagara wyūha, gajendramatta/gajamatta wyūha, padma wyūha, cakra wyūha, makara
wyūha, dan kānannya wyūha tidak
terdapat dalam kitab Arthaśāstra (lihat
tabel 1). Bisa saja jenis-jenis wyūha tersebut merupakan strategi perang
asli Jawa yang kemudian namanya diubah ke dalam bahasa Sanskerta.
———-
§ *9. Ternyata dalam karya sastera
Kamandaka yang dikemukakan oleh Kats tentang strategi perang tidak
ditemukan. Dalam hal ini , Wiryosuparto agaknya hanya mengutip Kats tanpa
menelusuri ke naskah aslinya lagi.
§ *10. Jenis-jenis strategi perang yang disebutkan dalam Arthaśāstra adalah : (1)dańůa (susunan pasukan seperti alat pemukul), (2) bhoga (susunan pasukan seperti ular), (3) mańůala (susunan pasukan seperti lingkaran),
(4) asamhata (susunan
pasukan yang bagian-bagiannya terpisah), (5) pradara (susunan pasukan untuk menggempur
musuh), (6) ůŕůhaka (susunan
pasukan dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang), (7) asahya (susunan pasukan yang tidak dapat ditembus), (8)garuůa (susunan pasukan berbentuk garuda), (9) sañjaya (susunan pasukan berbentuk busur),
(10) wijaya (susunan
pasukan menyerupai busur dengan bagian depan menjolok), (11) sthūlakarńna (susunan pasukan yang berbentuk telinga
besar), (12) wiśālawijaya (susunan
pasukan yang disebut kemenangan mutlak, susunannnya sama dengan sthūlakarńna,
hanya bagian depan disusun dua kali lebih kuat), (13) camūmukha (susunan pasukan dengan bentuk dua sayap
yang berhadapan muka dengan musuh), (14) jhashāsya (susunan
pasukan seperti camūmukha, hanya sayapnya ditarik ke belakang), (15) sūcimukha (susunan pasukan yang ujungnya seperti
jarum), (16) walaya (susunan
pasukan seperti sūcimukha hanya barisannya terdiri dari dua lapis), (17) ajaya (susunan pasukan yang tidak terkalahkan), (18) sarpāsarīi (susunan pasukan seperti ular yang
bergerak), (19) gomūtrika (susunan
pasukan yang berbentuk arah terbuangnya air seni sapi), (20) syandana (susunan pasukan yang menyerupai
kereta), (21) godha (susunan
pasukan berbentuk buaya), (22) wāripatantaka (susunan
pasukan sama degan syandana, hanya semua pasukannya terdiri dari barisan gajah,
kuda, dan kereta perang), (23) sarwatomukha (susunan
tentara berbentuk lingkaran), (24)sarwatobhadra (susunan
pasukan yang serba menguntungkan), (25) ashőānīkā(susunan
pasukan yang terdiri dari 8 divisi), (26) wajra (susunan pasukan berbentuk wajra), (27) udyānaka (susunan pasukan berbentuk taman yang
terdiri dari 4 divisi), (28) ardhacandrika (susunan
pasukan berbentuk bulan sabit yang terdiri dari 3 divisi), (29) karkāőakaśrěnggi (susunan pasukan
berbentuk kepala udang), (30)ariśőa (susunan
pasukan dengan garis depan ditempati pasukan kereta perang, pasukan gajah,
sedangkan pasukan berkuda menempati baris belakang), (31) acala(susunan pasukan yang menempatkan barisan infanteri, pasukan
gajah, pasukan kuda, dan pasukan kereta perang, berbaris ke belakang),
(32) śyena (susunan
pasukannya sama dengan garuda), (33) apratihata (pasukan
kuda, pasukan kereta perang, dan pasukan infanteri berbaris ke belakang),
(34) chāpa (susunan
pasukan berbentuk busur), dan (35) madhya
chāpa (susunan pasukan berbentuk busur dengan inti kekuatan
berada di bagian tengah) (Sharmasastry
1923:434–435; Wirjosuparto 1968:27–29).
———-
Tabel 1. Jenis-jenis Wyūha
No
|
Arthaśāstra
|
Bhārātayūddha
|
Kamandaka
|
1
|
dańůa
|
-
|
-
|
2
|
bhoga
|
-
|
-
|
3
|
mańůala
|
-
|
-
|
4
|
asamhata
|
-
|
-
|
5
|
pradara
|
-
|
-
|
6
|
ůŕůhaka
|
-
|
-
|
7
|
asahya
|
-
|
-
|
8
|
garuůa
|
garuůa
|
garuůa
|
9
|
sañjaya
|
-
|
-
|
10
|
wijaya
|
-
|
-
|
11
|
sthūlakarńna
|
-
|
-
|
12
|
wiśālawijaya
|
-
|
-
|
13
|
camūmukha
|
-
|
-
|
14
|
jhashāsya
|
-
|
-
|
15
|
sūcimukha
|
sūcimukha
|
sūcimukha
|
16
|
walaya
|
-
|
-
|
17
|
ajaya
|
-
|
-
|
18
|
sarpāsarīi
|
-
|
-
|
19
|
gomūtrika
|
-
|
-
|
20
|
syandana
|
-
|
-
|
21
|
godha
|
-
|
-
|
22
|
wāripatantaka
|
-
|
-
|
23
|
sarwatomukha
|
-
|
-
|
24
|
sarwatobhadra
|
-
|
-
|
25
|
ashőānīkā
|
-
|
-
|
26
|
wajra
|
wajratikśna
|
wajratikśna
|
27
|
udyānaka
|
-
|
-
|
28
|
ardhacandrika
|
ardhacandra
|
-
|
29
|
karkāőakaśrěnggi
|
-
|
-
|
30
|
ariśőa
|
-
|
-
|
31
|
acala
|
-
|
-
|
32
|
śyena
|
-
|
-
|
33
|
apratihata
|
-
|
-
|
34
|
chāpa
|
-
|
-
|
35
|
madhya chāpa
|
-
|
-
|
36
|
wukir sagara
|
wukir sagara
|
|
37
|
gajendramatta
|
-
|
|
38
|
padma
|
padma
|
|
39
|
cakra
|
cakra
|
|
40
|
makara
|
makara
|
|
41
|
kānannya
|
-
|
|
42
|
-
|
singha
|
Patut
disayangkan, karena terbatasnya data tekstual (prasasti dan karya sastera), kita tidak dapat
mengetahui strtaegi serangan frontal yang dilakukan Rakai Kayuwangiterhadap Rakai Walaing Pu Kumbhayoni. Demikian pula strategi
perang yang dijalankan oleh Wikramawarddhana dalam
menghadapi Bhre Wirabhūmi. Hanya
satu hal yang dapat dipastikan bahwa dalam peperangan tersebut mereka
menggunakan strategi perang tertentu, dan bisa saja memakai salah satu wyūha
yang telah disebutkan di atas.
Strategi
perang lainnya ialah strategi perang yang dilakukan oleh Raden Wijaya. Raden
Wijaya ialah kemenakan sekaligus menantu Kěrtanagara, karena ia menikahi keempat puteri
Kěrtanagara. Setelah Kěrtanagara berhasil
dibunuh oleh Jayakatwang, atas
saranAryya Wiraraja, ia
berpura-pura tunduk kepada Jayakatwang.
Setelah mendapatkan kepercayaan penuh dari Jayakatwang, ia
meminta hutan di daerah
Trik*11 sebagai pertahanan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui
Sungai Brantas. Kemudian, setelah permohonannya dikabulkan ia membuka daerah
itu dengan bantuanAryya Wiraraja menjadi
desa yang dinamakan Majapahit. Di
tempat itu, ia secara diam-diam memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat
untuk menyerang Kadiri. Di Madura, Aryya
Wiraraja sudah bersiap-siap pula dengan pasukannya untuk membantuMajapahit melawan Jayakatwang.
———-
§ *11. Daerah Trik diidentfikasikan dengan Desa Tarik, Kecamatan
Tarik, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur
———-
Bersamaan dengan selesainya persiapan-persiapan untuk mengadakan
perlawanan terhadap Jayakatwang pada
awal tahun 1293,
datanglah tentara Kubhilai Khan yang
akan membalas perlakuan Kěrtanagara terhadap utusannya. Mereka tidak mengetahui
jika kerajaan Singhasāri telah
hancur dan rajanya, Kěrtanagara telah gugur. Bagi
Raden Wijaya kedatangan pasukan Cina merupakan kesempatan yang baik untuk
menyusun suatu strategi. Oleh karena itu dengan segera ia mengirimkan utusan
kepada panglima pasukan Cina yang membawa pesan bahwa ia bersedia tunduk dan
bergabung dengan pasukan Cina untuk menggempur Daha. Selain itu ia pun
mengirimkan pengikut yang dipercayainya untuk memberikan informasi kepada
pasukan Cina tentang jalan, sungai, dan sumber-sumber yang ada di negeri itu (Groeneveldt 1960:33).
Pasukan Cina menyerang Daha yang menjadi ibukota Kadiri
dalam tiga gelombang.
Gelombang pertama dilakukan pada awal bulan ketiga (April-Mei) di muara Kali Mas(Pa-tsieh),
pasukan Cina menyerang pasukan Daha yang selalu siap menghadapi musuh dari
luar. Dalam pertempuran ini pasukan Daha dapat dikalahkan. Setelah mendapatkan
kemenangan, pasukan Cina dibagi
menjadi dua: sebagian berjaga-jaga di muara Kali Masdan sebagian lagi menyerang Daha. Akan tetapi sebelum
mereka berangkat ke Daha, datang utusan Raden
Wijaya yang meminta bantuan karena Majapahit akan diserang oleh
pasukan Daha. Pada tanggal delapan
bulan ketiga, terjadi pertempuran di Majapahit yang berakhir dengan
kekalahan pasukan Daha. Tidak puas dengan kesuksesan yang dicapainya, pasukan Cina bergerak menuju Daha, dan
pada tanggal 19 bulan yang
sama mereka menyerang Daha. Jayakatwang telah
siap menghadapi musuh dengan pasukan yang terdiri dari seratus ribu orang.
Setelah pertempuran berjalan dengan dahsyatnya, akhirnya Jayakatwang menyerahkan
diri dan ditawan bersama semua anggota keluarganya serta para pejabat tinggi
kerajaan (Groeneveldt 1960:33–4;
Sumadio dkk. 1993:425).
Setelah
pertempuran antara pasukan Kadiri dengan Cina berakhir, Raden wijaya kembali ke Majapahit dengan alasan
mengambil upeti yang akan dipersembahkan kepada Kaisar Cina. Dalam perjalanannya
ke Majapahit ia dikawal oleh dua
opsir dan duaratus
tentara Cina. Di tengah perjalanan, ia berhasil mengelabui dan membunuh
kedua opsir, kemudian menyerang pengawal-pengawalnya. Setelah mengalahkan
pengawal-pengawal Cina, pasukan Raden Wijaya kembali ke Daha untuk menyerang
tentara Cina. Dalam peperangan ini, tentara Cina mengalami kekalahan dan
sisanya terpaksa melarikan diri meninggalkan Pulau Jawa.
Dari data tekstual, tidak pernah ada keterangan yang
menyebutkan Raden Wijaya
melakukan strategi perang sāma-bheda-dańůa, akan
tetapi dari tahapan-tahapan perang yang dilakukan oleh Raden Wijaya, ia
menjalankan strategi itu. Dalam menjalankan strateginya, pertama kali yang
dilakukan oleh Raden Wijaya ialah berteman dengan Aryya Wiraraja, dalam hal ini strategi
yang dijalankan ialah mencari pendukung agar ada yang membantu ketika ia
menyerang Jayakatwang (sāma). Lalu
ia menghasut tentara Cina dengan mengatakan bahwa Jayakatwanglah musuh yang
dicari oleh balatentara tersebut(bheda), dan
setelah terjadi peperangan antara Jayakatwang dengan pasukan Cina yang diakhiri
dengan kekalahan Jayakatwang, tindakannya yang terakhir adalah memukul
balatentara Cina (dańůa).
3. Penutup
Dari beberapa contoh peperangan yang terjadi pada masa Jawa Kuna dapat diambil kesimpulan bahwa strategi perang yang berupa
serangan mendadak pada umumnyadilakukan
oleh raja-raja yang mempunyai motivasi
balas dendam, seperti yang dilakukan oleh raja Wurari terhadap Dharmmawangsa Těguh atau Jayakatwang terhadapKěrtanagara. Tampaknya alasan mereka melakukan serangan
mendadak adalah karena jika memakai strategi perang frontal, mereka pasti kalah
sebab musuh yang dihadapinya jauh lebih kuat. Adapun strategi serangan frontal
biasanya terjadi dalam perang saudara yang kekuatannya seimbang, seperti
peperangan yang terjadi antara Rakai
Kayuwangidan Rakai Walaing Pu
Kumbhayoni atau Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhūmi.
Mengenai strategi perang sāma-bheda-dańůa,
seperti telah diutarakan sebelumnya mungkin dilakukan oleh Raden Wijaya. Akan
tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah Raden Wijaya melakukan
strategi itu karena dia mempelajari strategi tersebut ataukah hanya kebetulan
tahapan-tahapan dalam menjalankan strategi perangnya sesuai dengan
sāma-bheda-dańůa. Karena jika kita teliti kembali kakawin Arjunawiwāha danNitiśāstra maka dapat diketahui bahwa dalam kedua
kakawin tersebut, sāma-bheda-dańůa tidak
khusus menjelaskan mengenai strategi perang. Dalam Arjunawiwāha pupuh 21.1 terdapat kata sāma-bheda-dańůa dan bukan sāma-bheda-dańůa yang menjelaskan Niwatakawaca yang sudah tidak
mau lagi mau berdamai, yaitu perdamaian yang didamaikan dengan uang, akan
tetapi hanya mau menyelesaikan masalahnya dengan perang;
sedangkan Nitiśāstra,
menekankan pentingnya uang/harta benda (dhana) dalam
menjalankan sāma-bheda-dańůa, tanpa
dhana maka sāma-bheda-dańůa tidak berhasil. Oleh karena itu asumsi Wirjosuparto yang menyebutkan sāma-bheda-dańůa telah
dikenal dan dipelajari di Indonesia harus diuji kembali dan harus dicari
bukti-bukti yang lebih kuat dan akurat untuk mendukung asumsi tersebut.
Jika dilihat faktor-faktor yang menjadi pemicu perang, maka
dapat disebutkan terjadinya perang pada masa Jawa Kuna terutama disebabkan oleh
faktor-faktor biologis danpsikologis. Faktor-faktor biologis ini dapat disebabkan
oleh persaingan untuk memiliki sesuatu, pelanggaran oleh orang luar, atau
frustasi dalam kegiatan tertentu; sedangkan faktor psikologis didasarkan oleh
sifat manusia yang secara lahiriah agresif
(Lapian t.t.:5–6). Faktor-faktor itulah maka Kěrtanagara untuk menyatukan Nusantara melakukan
ekspansi dengan peperangan. Atau perang antar sudara karena memperebutkan
takhta kerajaan, seperti peperangan yang terjadi antara Rakai Kayuwangi yang dipimpin oleh
anaknya, Rakai Kayuwangi dengan Rakai Walaing Pu Kumbhayoni, atau antaraWikramawarddhana dan Bhre Wirabhūmi; sedangkan faktor
psikologisnya lebih menyangkut pada balas dendam, seperti yang dilakukan
oleh raja Wurari terhadapDharmmawangsa Těguh.
Baik faktor biologis maupun psikologis tersebut menunjukkan
bahwa kehidupan pada masa Jawa Kuna menggambarkan adanya interest (kepentingan) yang tidak dapat
diselesaikan melalui kompromi yang bersifat konsensus. Oleh karena itu terlihat adanya unsur
pemaksaan kepentingan dari satu pihak terhadap pihak lain.
Dari kondisi seperti itu, perang yang menjadi salah satu bentuk
penyaluran kepentingan dari satu pihak terhadap pihak lain, adalah juga
merupakan bentuk konflik yang termasuk dalam kriteria yang paling tinggi dan
fatal. Dengan demikian esensi konflik yang diimplementasikan melalui perang
agaknya sejak masa lalu merupakan gejala yang paling efektif, daripada
mengandalkan cara-cara perundingan atau pencapaian kesepakatan antara dua pihak
yang bermusuhan, dan menyangkut persoalan di antara mereka yang berseteru
tersebut.
Dari pembahasan mengenai peperangan yang terjadi pada masa Jawa
Kuna dapat diambil kesimpulan bahwa perang yang terjadi karena dorongan
psikologi maupun biologis mengandung suatu interaksi yang tidak selalu
menguntungkan antara aspek kekuasaan(realitas) dan
moral (idealis).
Seharusnya aspek moral dapat mengawasi ambisi yang terlalu berlebihan dari
kekuasaan. Tetapi ternyata aspek moral itu agak terabaikan. Secara argumentatif
memang harus diakui bahwa aspek moral selalu menghadapi banyak persoalan,
termasuk persoalan sangsi atau ganjaran yang tidak pernah jelas jika kita
membicarakan efektifitas moral dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia.Akhirnya, masih lebih efektif bagi manusia atau sekelompok
manusia untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya melalui jalan kekerasan,
yaitu perang.
ditulis oleh: Titi Surti Nastiti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
0 komentar:
Posting Komentar