Negarakretagama
Terjemahan Naskah Manuskrip
Kuno Majapahit
diterbitkan dalam rangka usaha sosialisasi dan
penghayatan sejarah kebudayaan bangsa Indonesia, serta usaha
pelestarian peninggalan sejarah dan
kepurbakalaan.
Pujasastra Negarakretagama terdiri dari 98 pupuh. Isi
pembagiannya dilakukan dengan sangat rapi.
Negarakretagama terdiri atas dua bagian. Bagian pertama
dimulai dari pupuh 1
– 49. Sedangkan bagian kedua
dimulai dari pupuh 50
– 98.
Judul asli dari manuskrip ini
adalah Desawarnana yang
artinya Sejarah Desa‐Desa. Sejak ditemukan kembali oleh
para arkeolog, naskah ini kemudian dinamakan
Negarakretagama
yang artinyaKisah Pembangunan
Negara.
Naskah ini selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka
1287 (September
– Oktober 1365 Masehi), penulisnya
menggunakan nama
samaran Prapanca, berdasarkan hasil
analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui
bahwa penulis naskah ini adalah
Dang Acarya Nadendra ,
bekas pembesar urusan agama Budha
di istana
Majapahit.
Beliau adalah putera dari seorang pejabat
istana di Majapahit dengan pangkat jabatan
Dharmadyaksa
Kasogatan. Penulis naskah ini
menyelesaikan naskah kakawin Negarakretagama diusia
senja dalam pertapaan di lereng gunung
di sebuah desa
bernama Kamalasana.
Negarakretagama
Ditulis Oleh
: Prapanca – 1365 Masehi
Bantu
kontributor dalam melestarikan upaya pelestarian
peninggalan purbakala &
kebudayaan Indonesia. Proyek
individu ini meliputi:
Pupuh 1
1.
Om! Sembah pujiku orang hina ke bawah
telapak kaki
pelindung
jagat. Siwa‐Budha
Janma‐Bhatara
senantiasa
tenang
tenggelam dalam samadi. Sang Sri Prawatanata,
pelindung
para miskin, raja adiraja di dunia. Dewa‐Bhatara,
lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
2.
Merata serta meresapi segala makhluq,
nirguna bagi kaum
Wisnawa. Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, Hartawan bagi
Jambala. Wagindra dalam segala ilmu, Dewa Asmara di dalam
cinta berahi. Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang
dan menjamin damai dunia.
3.
Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah, kepada Sri Nata
Rajasanagara,
Sri Nata Wilwatikta yang sedang memegang
tampuk
Negara bagai titisan Dewa‐Bhatara beliau menyapu
duka rakyat semua. Tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan
malah seluruh Nusantara.
4.
Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk
jadi
narpati. Selama dalam kandungan di
Kahuripan, telah
tampak tanda keluhuran Gempa bumi, kepul asap, hujan abu,
guruh
halilintar menyambar‐nyambar.
Gunung meletus,
gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara.
5.
Itulah tanda bahwa Bhatara Girinata
menjelma bagai raja
besar
terbukti selama bertahta, seluruh Jawa tunduk
menadah
perintah. Wipra, ksatria, waisya, sudra, keempat
kasta sempurna dalam pengabdian. Durjana berhenti berbuat
jahat, takut akan keberanian Sri Nata.
Pupuh 2
1.
Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah
nenekanda Sri
Baginda.
Seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat
raya.
Selaku Wikuni tua tekun berlatih yoga
menyembah
Budha. Tahun Saka dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke
Budhaloka.
2.
Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada,
dunia berkabung.
Kembali girang bersembah bakti semenjak Baginda mendaki
tahta.
Bagai rani di Jiwana resmi mewakili
Sri Narendra‐
putera.
Pupuh 3
1.
Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri
Rajapatni. Setia
mengikuti
ajaran Budha, menyekar yang telah mangkat.
Ayahanda Baginda raja ialah Sri Kertawardana raja. Keduanya
teguh beriman Budha demi perdamaian praja.
2.
Ayahnya Sri Baginda raja bersemayam di
Singasari. Bagai
Ratnasambawa
menambah kesejahteraan bersama. Teguh
tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan Negara. Mahir
mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.
Pupuh 4
1.
Puteri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan.
Bertahta di
Daha,
cantik tak bertara, bersandar nam guna.
Adalah bibi
Baginda, adik maharani di Jiwana. Rani Daha dan Rani Jiwana
bagai bidadari kembar.
2.
Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker. Rupawan
bagai
titisan Upendra, masyhur bagai sarjana.
Setara raja
Singasari,
sama teguh di dalam agama. Sangat
masyuhrlah
nama beliau di seluruh tanah Jawa.
Pupuh 5
1.
Adinda Baginda raja di Wilwatikta. Puteri jelita, bersemayam
di Lasem. Puteri jelita Daha, cantik ternama. Indudewi puteri
Wijayarajasa.
2.
Dan lagi puteri bungsu Kertawardana.
Bertahta di Pajang,
cantik tak bertara.
Puteri Sri Narapati Jiwana yang termasyhur.
Terkenal sebagai adinda Sri Baginda.
Pupuh 6
1.
Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut
rencana. Laki
tangkas
rani Lasem bagai raja daerah Matahun.
Bergelar
Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya. Raja dan
rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
2.
Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira.
Bergelar
raja Paguhan, beliaulah suami rani Pajang.
Mulia
perkawinannya
laksana Sanatkumara dan Dewi Ida. Bakti
kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
3.
Bhre Lasem menurunkan puteri jelita
Nagarawardani.
Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi. Raja
Pajang
menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardhana.
Bagai titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
4.
Puteri bungsu rani Pajang memerintah daerah
Pawanuhan.
Berjuluk Surawardani masih muda indah laksana gambar.
Para
raja
Pulau Jawa masing‐masing
mempunyai Negara. Dan
Wilwatikta
tempat mereka bersama‐sama menghamba Sri
Nata.
Pupuh 7
1.
Melambung kidung merdu pujian sang prabu,
beliau
membunuh
musuh‐musuh.
Bagai matahari menghembus
kabut,
menghimpun Negara di dalam kuasa. Girang
najma
utama
bagai bunga tunjung, musnah durjana kumuda.
Dari
semua desa di wilayah
Negara pajak mengalir bagai air.
2.
Raja menghapus duka si murba sebagai
Satamanyu
menghujani
bumi. Menghukum penjahat bagai Dewa Yama,
menimbun harta bagai Waruna. Para telik menembus segala
tempat
laksana Hyang Bhatara Bayu. Menjaga
pura sebagai
Dewi Pertiwi, rupanya bagus seperti bulan.
3.
Seolah‐olah
Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh
keindahan pura. Semua para puteri dan isteri sibiran dahi Sri
Ratih. Namun sang permaisuri keturunan Wijayarajasa, tetap
paling cantik. Paling jelita bagaikan Susumna, memang pantas
jadi imbangan baginda.
4.
Berputeralah beliau puteri mahkota Kusumawardhani, sangat
cantik.
Sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai,
bersemayam di Kabalan. Sang menantu Sri Wikramawardana
memegang
perdata seluruh Negara. Sebagai dewa‐dewi
mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.
Pupuh 8
1.
Tersebut keajaiban kota: tembok bata merah,
tebal tinggi,
mengitari
pura. Pintu barat bernama Pura Waktra,
menghadap
ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana
berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk
aneka
ragam. Di situlah tempat tunggu para
tanda terus
menerus meronda jaga paseban.
2.
Di sebelah utara, bertegak gapura permai dengan pintu besi
penuh berukir.
Di sebelah timur, panggung luhur, lantainya
berlapis
batu, putih‐putih
mengkilat. Di bagian utara,
disebelah
pecan, rumah berjejal jauh memanjang sangat
indah.
Di selatan jalan perempatan, balai prajurit
tempat
pertemuan tiap caitra.
3.
Balai agung Manguntur dengan balai Witana
di tengah
menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah:
bagian utara,
paseban pujangga dan menteri. Bagian timur,
paseban
pendeta Siwa‐Budha,
yang bertugas membahas
upacara.
Pada masa gerhana bulan Palguna demi keselamatan
seluruh dunia.
4.
Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga‐tiga mengitari
kuil
siwa. Di selatan, tempat tinggal wipra
utama, tinggi
bertingkat menghadap panggung korban.
Bertegak di halaman
sebelah
barat; di utara, tempat Budha bersusun
tiga.
Puncaknya
penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja
turun berkorban.
5.
Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu,
itulah paseban.
Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat,
di
sela tanjung berbunga lebat. Agak
jauh di sebelah barat
daya:
panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat
ditengah‐tengah halaman, bertegak mandapa penuh burung
ramai berkicau.
6.
Di dalam, di selatan ada lagi
paseban memanjang ke pintu
keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat‐tangga, tersekat‐
sekat, masing‐masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang
kuat
bertiang kokoh, papan rusuknya tiada
tercela. Para
prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar
tutur.
Pupuh 9
1.
Inilah para penghadap: pengalasan Ngaran,
jumlahnya tak
terbilang. Nyu Gading Janggala‐Kediri, Panglarang, Rajadewi,
tanpa
upama Waisangka Kapanewon Sinelir, para perwira
Jayengprang Jayagung. Dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang
Gajahan, dan banyak lagi.
2.
Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak terbatas.
Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling
muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret
yang
kedua.
3.
Di bagian barat, beberapa balai memanjang
sampai
mercudesa. Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para
perwira penjaga.
Di bagian selatan agak jauh, beberapa ruang,
mandapa dan balai.
Tempat tinggal abdi Sri Narapati Paguhan,
bertugas menghadap.
4.
Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana
berseri‐seri.
Rata dan luas, dengan rumah indah berisi kursi‐kursi berhias.
Di
sebelah timur, menjulang rumah tinggi
berhias lambing
kerajaan.
Itulah balai tempat terima tatamu Sri
Nata di
Wilwatikta.
Pupuh 10
1.
Inilah pembesar yang sering menghadap
dibalai Witana.
Wreda
menteri, tanda menteri pasangguhan dengan
pengiring.
Sang Panca Wilwatikta: mapatih, demung,
kanaruhan,
rangga, tumenggung, lima priyayi agung yang
akrab dengan istana.
2.
Semua patih, demung Negara bawahan dan
pengalasan.
Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh. Jika
datang, berkumpul di kepatihan seluruh Negara. Lima menteri
utama, yang mengawal urusan Negara.
3.
Ksatria, pendeta, pujangga, para wipra,
jika menghadap.
Berdiri di bawah lindungan asoka di sisi Witana. Begitu juga
dua
dharmadyaksa dan tujuh pembantunya. Bergelar
arya,
tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.
Pupuh 11
1.
Itulah penghadap balai Witana, tempat
tahta, yang berhias
serba bergas. Pantangan masuk ke dalam istana timur, agak
jauh
dari pintu pertama. Ke istana Selatan,
tempat
Singawardhana,
permaisuri putra dan putrinya. Ke istana
utara, tempat Kertawardana. Ketiganya bagai kahyangan.
2.
Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna‐
warni.
Kainya dari bata merah pating berunjul,
bergambar
aneka lukisan.
Genting atapnya bersemarak serba meresapkan
pandang, menarik perhatian.
Bunga tanjung, kesara, campaka,
dan lain‐lainnya terpencar di halaman.
Pupuh 12
1.
Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng.
Timur
tempat
tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja.
Selatan
Budha‐sangga
dengan Rangkanadi sebagai pemuka.
Barat tempat para arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
2.
Di timur, tersekat lapangan, menjulang
istana ajaib. Raja
Wengker
dan rani Daha penaka Indra dan Dewi
Saci.
Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem. Tak
jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
3.
Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ
menetap
patih Daha, adinda baginda di Wengker.
Bhatara
Narapati,
termasyhur sebagai tulang punggung praja. Cinta
taat
kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
4.
Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada.
Menteri
wira, bijaksana, serta bakti kepada Negara.
Fasih
bicara, teguh tangkas, tenang cerdas, cerdik lagi jujur. Tangan
kanan maharaja sebagai penggerak roda Negara.
5.
Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah
timur
perumahan Siwa, sebelah barat Budha. Terlangkahi
rumah para menteri, para arya dan ksatria. Perbedaan ragam
pelbagai rumah menambah indahnya pura.
6.
Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang‐
cemerlang.
Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa
umpama.
Negara‐negara
di Nusantara dengan Daha bagai
pemuka.
Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa
Wilwatikta.
Pupuh 13
1.
Terperinci pulau Negara bawahan, paling dulu M’layu, Jambi,
Palembang,
Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut
Daerah Kandis,
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar
dan Pane.
2.
Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga
Barus.
Itulah terutama Negara‐negara melayu yang telah
tunduk.
Negara‐negara
di Pulau Tanjungnegara; Kapuas‐
Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai
ikut tersebut
Pupuh 14
1.
Kandandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan.
Sedu,
Barune (ng), Kalka, Saludung, Solor dan
juga Pasir.
Barito,
Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei.
Malano
tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
2.
Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut
Langkasuka,
Saimwang, Kelantan, serta Trengganu Johor,
Paka,
Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah.
Jerai,
Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
3.
Disebelah timur Jawa, seperti yang berikut:
Bali dengan
Negara
yang penting Badahulu dan Lo Gajah.
Gurun serta
Sukun,
Taliwang, Pulau Sapi, dan Dompo. Sang
Hyang Api,
Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4.
Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah. Dengan
daerah
makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantalayan di
wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk. Sampai Udamaktraya
dan pulau lain‐lainnya tunduk
5.
Tersebut pula pulau‐pulau
Makasar, Buton, Bangawi Kunir,
Galian, serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda
(n),
Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran,
Timor, dan
beberapa lagi pulau‐pulau lain.
Pupuh 15
1.
Inilah nama Negara asing yang mempunyai hubungan. Siam
dengan
Ayudyapura, begitu pun Darmanagari Marutma,
Rajapura,
begitu juga Singanagari. Campa, Kamboja, dan
Yawana ialah Negara sahabat.
2.
Tentang pulau Madura, tidak dipandang Negara asing. Karena
sejak dahulu
dengan Jawa menjadi satu. Konon tahun Saka
lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah
meskipun tidak
sangat jauh.
3.
Semenjak Nusantara menadah perintah Sri
Baginda. Tiap
musim
tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong
keinginan
akan menambah kebahagiaan. Pujangga dan
pegawai diperintah menarik upeti
Pupuh 16
1.
Pujangga‐pujangga
yang lama berkunjung di Nusantara.
Dilarang
mengabaikan urusan Negara, mengejar untung.
Seyogianya,
jika mengemban perintah ke mana juga.
Menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat
2.
Konon, kabarnya, para penderita penganut
Sang Sugata.
Dalam
perjalanan mengemban perintah Baginda Nata.
Dilarang menginjak tanah sebelah barat Pulau Jawa. Karena
penghuninya bukan penganut ajaran Budha.
3.
Tanah sebelah timur Jawa terutama Gurun,
Bali boleh
dijelajah
tanpa ada yang dikecualikan. Bahkan, menurut
kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan
telah bersumpah teguh
4.
Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja. Dikirim
ke
timur ke barat; dimana mereka sempat.
Melakukan
persajian
seperti perintah Sri Nata. Resap
terpandang mata
jika mereka sedang mengajar
5.
Semua Negara yang tunduk setia menganut perintah. Dijaga
dan
dilindungi Sri Nata dari Pulau Jawa.
Tapi, yang
membangkang,
melanggar perintah, dibinasakan pimpinan
angkatan laut, yang telah masyhur lagi berjasa
Pupuh 17
1.
Telah tegak teguh kuasa Sri Nata di
Jawa dan wilayah
Nusantara.
Di Sripalatikta tempat beliau bersemayam,
menggerakkan roda dunia. Tersebar luas nama beliau, semua
penduduk puas, girang dan lega. Wipra, pujangga dan semua
penguasa ikut menumpang menjadi masyhur
2.
Sungguh besar kuasa dan jasa beliau,
raja agung dan raja
utama.
Lepas dari segala duka, mengenyam hidup
penuh
segala
kenikmatan. Terpilih semua gadis manis di
seluruh
wilayah
Janggala Kediri. Berkumpul di istana
bersama yang
terampas dari Negara tetangga.
3.
Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota
di bawah kuasa
Baginda.
Ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara
yang
mengepung pura. Semua pulau laksana daerah
pedusunan tempat menimbun bahan makanan. Gunung dan
rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya
4.
Tiap bulan sehabis musim
hujan beliau biasa pesiar keliling
Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura.
Ramai
tak ada hentinya selama pertemuan dan
upacara
prasetyan.
Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan
setempat dengan candi lima
5.
Atau pergilah beliau bersembah bakti
kehadapan Hyang
Acalapati.
Biasanya terus menuju Blitar, Jinur, mengunjungi
gunung‐gunung permai.
Di Daha terutama ke Polaman, ke
Kuwu, dan Lingga hingga Desa Bangin.
Jika sampai di Jenggala,
singgah di Surabaya, terus menuju Buwun.
6.
Tahun Aksatisura (1275), Sang Prabu menuju
Pajang
membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga‐naga‐aryama
(1276), ke Lasem, melintasi pantai samudra.
Tahun Saka pintu‐
gunung‐mendengar‐indu (1279),
ke laut selatan menembus
hutan.
Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya,
Tetu, dan Sideman.
7.
Tahun Saka seekor‐naga‐menelan bulan (1281), di Badrapada
bulan tambah Sri Nata pesiar keliling seluruh Negara menuju
Kota
Lumajang naik kereta diiringi semua raja
Jawa serta
permaisuri
dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga,
semua para pembesar ikut serta.
8.
Juga yang menyamar Prapanca girang turut serta mengiring
paduka
Maharaja. Tak tersangkal girang sang kawi,
putera
pujangga, juga pencinta kakawin. Dipilih Sri Baginda sebagai
pembesar kebudhaan mengganti sang ayah. Semua pendeta
Budha umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.
9.
Tingkah sang kawi waktu muda menghadap
raja, berkata
berdampingan,
tak lain. Maksudnya mengambil hati, agar
disuruh
ikut beliau ke mana juga. Namun,
belum mampu
menikmati
alam, membinanya, mengolah, dan menggubah
karya kakawin; begitu warna desa sepanjang marga terkarang
berturut.
10.
Mula‐mula melalui Japan dengan asrama dan candi‐candi ruk
rebah.
Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Duluwang, Bebala
di
dekat Kanci, Ratnapangkaja serta Kuti Haji
Pangkala
memanjang
bersambung‐sambungan.
Mandala Panjrak,
Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
11.
Habis berkunjung pada candi makam Pancasara, menginap di
Kapulungan.
Selanjutnya, sang kawi bermalam di Waru, di
Hering,
tidak jauh dari pantai. Yang mengikuti
ketetapan
hukum jadi milik kepala asrama Saraya. Tetapi masih tetap di
tangan lain, rindu termenung‐menunggu
Pupuh 18
1.
Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak
Sepanjang
jalan penuh kereta, penumpangnya duduk
berimpit‐impitan. Pedati di muka dan di belakang, di tengah
prajurit berjalan kaki.
Berdesak‐desakan, berebut jalan dengan
binatang gajah dan kuda.
2.
Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda‐beda tanda cirinya
Meleret
berkelompok‐kelompok,
karena tiap menteri lain
lambangnya.
Rakrian sang menteri patih amangkubumi
penatang
kerajaan keretanya beberapa ratus berkelompok
dengan aneka tanda.
3.
Segala kereta Sri Nata Pajang semua
bergambar matahari.
Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng
putih.
Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma emas
mengkilat.
Pupuh 19
1.
Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat
tiga hari tiga
malam.
Dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa,
Rame,
Menuju
Lampes, Times. Serta biara pendeta di
Pogara
mengikuti jalan pasir lemak
– lembut. Menuju daerah Beringin
Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
2.
Tersebut
dukuh
Kasogatan
Madakaripura
dengan
pemandangan indah. Tanahnya anugerah Sri Baginda kepada
Gadjah
Mada, teratur indah. Disitulah Baginda menempati
pasanggrahan
yang terhias sangat bergas. Sementara
mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandibakti.
Pupuh 20
1.
Sampai di desa Kasogatan, Baginda dijamu
makan minum
Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten,
Poh,
Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar We
Petang.
Yang letaknya di lingkungan biara, semua
datang
menghadap.
2.
Begitu pula Desa Tunggilis, Pabayeman ikut
berkumpul
termasuk
Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan.
Itulah
empat belas desa kasogatan yang ber‐akuwu Sejak
dahulu, delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.
Pupuh 21
1.
Fajar menyingsing: berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak,
Ranu
Kuning, Balerah, Bare‐bare, Dawohan, Kapayeman,
Telpak,
Baremi, Sapang, serta Kasaduran. Kereta berjalan
cepat‐cepat menuju Pawijungan.
2.
Menuruni Lurah, melintasi sawah, lari
menuju Jaladipa,
Talapika,
Padali, Ambon dan Panggulan. Langsung ke
Payaman,
Tepasana ke arah Kota Rembang. Sampai di
kemirahan yang letakknya di pantai lautan.
Pupuh 22
1.
Di Dampar dan Patunjungan, Sri Baginda
bercengkrama
menyisir
tepi lautan. Ke jurusan timur turut
pesisir darat,
lembut limbur di lintas kereta. Berhenti beliau di tepi danau
penuh teratai, tunjung sedang berbunga. Asyik memandang
udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
2.
Terlangkahi keindahan air telaga yang
lambai melambai
dengan lautan. Danau ditinggalkan menuju Wedi dan Guntur
tersembunyi di tepi jalan. Kasogatan Bajraka termasuk wilayah
Taladwaja sejak dulu
kala. Seperti juga Patunjungan, akibat
perang, belum kembali ke asrama.
3.
Terlintas tempat tersebut, ke timur mengikuti
hutan
sepanjang
tepi lautan. Berhenti di Palumbon, berangkat
setelah
surya laut. Menyeberangi sungai Rabutlawang yang
kebetulan
airnya sedang surut. Menuruni lurah Balater
menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi.
4.
Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng
bermalam. Malam berganti malam Baginda pesiar menikmati
alam
Sarampuan. Sepeninggalnya beliau menjelang Kota
Bacok bersenang‐senang di pantai. Heran memandang karang
tersiram riak gelombang berpancar seperti hutan.
5.
Tapi
sang rakawi tidak ikut berkunjung di
Bacok, pergi
menyidat jalan. Dari Sadeng ke utara menjelang Balung, terus
menuju
Tumbu
dan
Habet.
Galagah,
Tampaling,
beristirahatlah
di Renes seraya menanti Baginda. Segera
berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta
– Wanagriya.
Pupuh 23
1.
Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek,
Pakisaji, Padangan
terus ke Secang. Terlintas Jati Gumelar, Silabango. Ke utara ke
Dewa Rame dan Dukun.
2.
Lalu berangkat ke Pakembangan. Di situ
bermalam; segera
berangkat. Sampailah beliau ke ujung lurah Daya. Yang segera
dituruni sampai jurang.
Pupuh 24
1.
Terlalu lancer lari kereta melintasi Palayangan dan Bengkong,
dua
desa tanpa cerita, terus menuju Sarana,
mereka yang
merasa lelah ingin
berehat. Lainnya bergegas berebut jalan
menuju Surabasa.
2.
Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang. Senja
pun
turun, sapi lelah dilepas dari pasangan.
Perjalanan
membelok ke utara melintasi Turayan. Beramai‐ramai lekas‐
lekas ingin mencapai Patukangan.
Pupuh 25
1.
Panjang lamun dikisahkan kelakuan para
menteri dan abdi.
Beramai‐ramai Baginda telah sampai di Desa Patukangan. Di
tepi
laut lebar tenang rata terbentang di
barat Talakrep.
Sebelah utara pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata.
2.
Semua menteri mancanagara hadir di Pakuwuan. Juga Jaksa
Pasungguhan
Sang Wangsadiraja ikut menghadap. Para
Upapati
yang tanpa cela, para pembesar agama.
Panji siwa
dan Panji budha, faham hukum dan putus sastra.
Pupuh 26
1.
Sang Adipati Suradikara memimpin upacara sambutan. Diikuti
segenap
penduduk
daerah
wilayah
Patukangan.
Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain.
Girang rakyat girang raja, Pakuwuan berlimpah kegirangan.
Pupuh 27
1.
Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari. Baginda
mendekati permaisuri seperti dewa dewi. Para puteri laksana
apsari
turun dari kahyangan. Hilangnya keganjlan
berganti
pandang penuh heran cengang.
2.
Berbagai‐bagai permainan diadakan demi kesukaan. Berbuat
segala apa yang membuat gembira penduduk. Menari topeng,
bergumul, bergulat, membuat orang kagum. Sungguh beliau
dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Pupuh 28
1.
Selama kunjungan di Desa Patukangan. Para menteri dari Bali
dan Madura. Dari Balumbung, kepercayaan Baginda. Menteri
seluruh Jawa Timur berkumpul.
2.
Persembahan bulu bekti bertumpah limpah.
Babi, gudel,
kerbau,
sapi, ayam dan anjing. Bahan kain
yang diterima
bertumpuk
timbun. Para penonton tercengang‐cengang
memandang.
3.
Tersebut keesokan hari pagi‐pagi. Baginda keluar di tengah‐
tengah
rakyat. Diiringi para kawi serta pujangga.
Menabur
harta, membuat gembira rakyat.
Pupuh 29
1.
Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih
tanpa
upama.
Berkabung kehilangan kawan kawi‐Budha Panji
Kertajaya.
Teman bersuka ria, teman karib dalam upacara
gama. Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya
megah.
2.
Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga.
Beliau tahu tempat‐tempat mana yang layak
pantas dilihat.
Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah.
Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
3.
Itulah lantarannya aku turut berangkat ke
Desa Keta.
Melewati
Tal tunggal, Halalang‐panjang, Pacaran dari
Bungatan.
Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas,
lalu
bermalam. Paginya berangkat ke Lemah Abang,
segera
tiba di Keta.
Pupuh 30
1.
Tersebutlah perjalanan Sri Narapati kea rah
barat. Segera
sampai
Keta dan tinggal disana lima hari.
Girang beliau
melihat
lautan, memandang balai kambang. Tidak lupa
menghirup kesenangan lain hingga puas.
2.
Atas perintah sang arya semua menteri
menghadap.
Wiraprana bagai kepala, upapati Siwa‐Budha. Mengalir rakyat
yang
datang sukarela tanpa diundang. Membawa bahan
santapan, girang menerima balasan.
Pupuh 31
1.
Keta telah ditinggalkan. Jumlah pengiring makin bertambah.
Melintasi Banyu Hening, perjalanan sampai Sampora. Terus ke
Daleman
menuju Wawaru, Gerbang, Krebilan. Sampai di
Kalayu Baginda berhenti ingin menyekar.
2.
Kalayu adalah nama desa perdikan kasogatan. Tempat candi
makam
sanak kadang Baginda raja. Penyekaran di
makam
dilakukan
dengan sangat hormat. “Memegat Sigi” nama
upacara penyekaran itu.
3.
Upacara berlangsung menepati segenap aturan. Mulai dengan
jamuan makan meriah tanpa upama. Para patih mengarak Sri
Baginda menuju paseban. Genderang dan kendang bergetar
mengikuti gerak tandak.
4.
Habis
penyekaran
raja
menghirup
segala
kesukaan.
Mengunjungi desa‐desa disekitarnya genap lengkap. Beberapa
malam lamanya berlomba dalam kesukaan. Memeluk wanita
cantik dan meriba gadis remaja.
5.
Kalayu ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan.
Melalui
Kebon
Agung, menuju Kambangrawi, bermalam. Tanah
anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala. Candinya Budha
menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
6.
Perjamuan Tumenggung Nala jauh dari cela. Tidak diuraikan
betapa lahap Baginda Nala bersantap. Paginya berangkat lagi
ke
Halses, B’rurang. Patunjungan. Terus langsung
melintasi
Patentanan, Tarub dan Lesan.
Pupuh 32
1.
Segera Sri Baginda sampai di Pajarakan,
di sana bermalam
empat
hari. Di tanah lapang sebelah candi
Budha beliau
memasang
tenda. Dipimpin Arya Sujanottama para menteri
dan pendeta datang menghadap. Menghaturkan pacitan dan
santapan, girang menerima anugerah
uang.
2.
Berangkat dari situ Sri Baginda menuju
asrama di rimba
Sagara.
Mendaki bukit‐bukit
ke arah selatan dan melintasi
terusan Buluh. Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai di
asrama
sagara. Letaknya gaib ajaib di tengah‐tengah hutan
membangkitkan rasa kagum rindu.
3.
Sang pujangga Prapanca yang memang senang
bermenung
tidak
selalu menghadap. Girang melancong ke taman
melepaskan
lelah melupakan segala duka. Rela melalaikan
paseban
mengabaikan tata tertib para pendeta. Memburu
nafsu
menjelajah rumah berbanjar‐banjar dalam deretan
berjajar.
4.
Tiba di taman bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga
tumbuh
lebat. Suka cita Prapanca membaca cacahan
(pahatan) dengan slokanya di dalam cita. Di atas atap terpahat
ucapan
sloka yang disertai nama. Pancaksara pada
penghabisan tempat terpahat samar‐samar, menggirangkan.
5.
Pemandiannya penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok
tinggi.
Berhamburan bunga nagakusuma di halaman yang
dilingkupi selokan. Andung, karawita, kayu mas, menur serta
kayu
puring dan lain‐lainnya.
Kelapa gading kuning rendah,
menguntai di sudut mengharu rindu pandangan.
6.
Tiada sampailah kata merah keindahan asrama yang gaib dan
ajaib. Beratapkan hijuk, dari dalam dan luar berkesan kerasnya
tata tertib. Semua para pertapa, wanita dan pria, tua‐muda,
nampaknya
bijak. Luput dari cela dan klesa, seolah‐olah
Siwapada di
atas dunia.
Pupuh 33
1.
Habis berkeliling asrama, Baginda lalu dijamu. Para pendeta
pertapa yang ucapannya sedap resap. Segala santapan yang
tersedia dalam pertapaan.
Baginda membalas harta, membuat
mereka gembira.
2.
Dalam pertukaran kata tentang arti
kependetaan. Mereka
mencurahkan
isi hati, tiada tertahan. Akhirnya cengkerama ke
taman
penuh dengan kesukaan. Kegirang‐girangan para
pendeta tercengang memandang.
3.
Habis kesukaan memberi isyarat akan
berangkat. Pandang
sayang yang ditinggal mengikuti langkah yang pergi. Bahkan
yang masih remaja puteri sengaja merenung. Batinnya: dewa
asmara turun untuk datang menggoda.
Pupuh 34
1.
Baginda berangkat, asrama tinggal berkabung.
Bambu
menutup
mata, sedih melepas selubung. Sirih menangis
merintih,
ayam roga menjerit. Tiung mengeluh sedih,
menitikkan air matanya.
2.
Kereta lari cepat, karena jalan menurun. Melintasi rumah dan
sawah
ditepi jalan. Segera sampai Arya, menginap
satu
malam. Paginya ke utara menuju Desa Gading.
3.
Para menteri mancanegara dikepalai Singadikara,
serta
pendeta
Siwa‐Budha.
Membawa santapan sedap dengan
upacara. Gembira dibalas Baginda dengan emas dan kain.
4.
Agak lama berhenti seraya istirahat.
Mengunjungi para
penduduk
segenap desa. Kemudian menuju Sungai Gawe,
Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.
Pupuh 35
1.
Sampai Pasuruan menyimpang jalan ke selatan
menuju
Kepanjangan. Menganut jalan raya, kereta lari beriring‐iring ke
Andoh
Wawang. Ke Kedung Peluk dan Ke
Hambal, desa
penghabisan
dalam ingatan. Segera Baginda menuju Kota
Singasari bermalam dib alai kota.
2.
Prapanca tinggal disebelah barat Pasuruan
ingin terus
melancong. Menuju Indarbaru yang letaknya di daerah Desa
Hujung.
Berkunjung di rumah pengawasnya, menanyakan
perkara
tanah asrama. Lempengan piagam pengukuh
diperlihatkan, jelas setelah dibaca.
3.
Isi piagam: tanah datar serta lembah
dan gunungnya milik
wihara.
Begitu pula dengan Markaman, lading balunghura,
sawah
hujung. Isi piagam membujuk sang pujangga
untuk
tinggal jauh dari pura. Bila telah habis kerja di Putusingin, ia
menyingkir ke
Indarbaru.
4.
Sebabnya terburu‐buru
berangkat setelah dijamu bapa
asrama.
Karena ingat akan giliran menghadap di
balai
Singasari.
Habis menyekar di candi makam, Baginda
mengumbar nafsu kesukaan. Menghirup sari pemandangan di
Kedung Biru, Kasurangganan dan Bureng.
Pupuh 36
1.
Pada Subakala, Baginda berangkat ke selatan
menuju
Kagenengan. Akan berbakti kepada makam Bhatara bersama
segala
pengiringnya. Harta, perlengkapan, makanan, dan
bunga
mengikuti jalannya kendaraan. Didahului kibaran
bendera, disambut sorak sorai dari penonton.
2.
Habis penyekaran, narapati keluar, dikerumuni
segenap
rakyat.
Pendeta Siwa‐Budha
dan para bangsawan berderet
leret
di sisi beliau. Tidak diceritakan betapa
lahab Baginda
bersantap
sampai puas. Segenap rakyat girang menerima
anugerah bahan pakaian yang indah.
Pupuh
37
1.
Tersebutlah keindahan candi makam, bentuknya
tiada
bertara. Pintu masuk terlalu
lebar lagi tinggi, bersabuk dari
luar di dalam, terbentang halaman dengan rumah berderet di
tepinya. Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
2.
Menara lampai menjulang tinggi di tengah‐tengah, terlalu
indah.
Seperti gunung Meru, dengan arca Bhatara
Siwa di
dalamnya.
Karena Girinata putera disembah bagai Dewa
Bhatara. Datu leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh
dunia.
3.
Sebelah selatan candi makam ada candi
sunyi terbengkalai.
Tembok serta pintunya masih berdiri, berciri kasogatan. Lantai
di
dalam, hilang kakinya bagian barat, tinggal
yang timur.
Sangar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu
merah.
4.
Disebelah utara, tanah bekas kaki rumah
sudahlah rata.
Terpancar
tanamannya nagapuspa serta salaga di halaman.
Diluar gapura pabaktan luhur, tapi longsor tanahnya. Halaman
luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
5.
Laksana perempuan sakit merana lukisannya lesu‐pucat.
Berhamburan
daun cemara yang ditempuh angin, kusut
bergelung. Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih lusuh
merayu. Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada
hentinya.
6.
Sedih
mata
memandang,
tak
berdaya
untuk
menyembuhkannya.
Kecuali menanti Hayam Wuruk sumber
hidup segala makhluk. Beliau masyhur bagai raja utama, bijak
memperbaiki
jagat. Pengasih bagi yang menderita sedih,
sungguh titisan Bhatara.
7.
Tersebut lagi, paginya Baginda berkunjung
ke Candi Kidal.
Sesudah menyembah Bhatara, larut hari berangkat ke Jajago.
Habis menyembah arca Jina, beliau berangkat ke penginapan.
Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.
Pupuh 38
1.
Keindahan Bureng: telaga bergumpal air jernih. Kebiru‐biruan,
ditengah: candi karang bermekala. Tepinya rumah berderet,
penuh
pelbagai ragam bunga. Tujuan para pelancong
penyerap sari kesenangan.
2.
Terlewati keindahannya; berganti cerita narpati. Setelah reda
terik matahari, melintas
tegal tinggi. Rumputnya tebal rata,
hijau
mengkilat, indah terpandang. Luas terlihat
laksana
lautan kecil berombak
jurang.
3.
Seraya berkeliling kereta lari tergesa‐gesa. Menuju Singasari,
segera
masuk ke pesanggrahan. Sang pujangga
singgah di
rumah pendeta Budha,
sarjana pengawas candid an silsilah
raja, pantas dikunjungi.
4.
Telah lanjut umurnya, jauh melintasi seribu
bulan. Setia,
sopan,
darah luhur, keluarga raja dan masyhur.
Meskipun
sempurna
dalam karya, jauh dari tingkah takabur. Terpuji
pekerjaannya, pantas ditiru keinsyafannya.
5.
Tamu mendadak diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai,
orang bahagia, pujangga besar pengiring raja. Pelindung dan
pengasih keluarga yang mengharap kasih. Jamuan apa yang
layak bagi paduka dan tersedia?”
6.
Maksud kedatanganya: ingin tahu sejarah
leluhur para raja
yang
dicandikan. Masih selalu dihadap. Ceritakanlah
mulai
dengan Bhatara Kagenengan. Ceritakan sejarahnya jadi putera
Girinata.
Pupuh 39
1.
Paduka empuku menjawab: “Rakawi Maksud paduka sungguh
merayu hati. Sungguh paduka pujangga lepas budi. Tak putus
menambah ilmu, mahkota hidup”
2.
Izinkan saya akan segera mulai. Cita
disucikan dengan air
sendang
tujuh. Terpuji Siwa! Terpuji Girinata! Semoga
terhindar aral, waktu bertutur.
3.
Semoga rakawi bersifat pengampun. Diantara
kata terselip
salah.
Harap percaya kepada orangtua. Kurang atau
lebih
janganlah dicela.
Pupuh 40
1.
Pada tahun Saka Lautan Dasa Bulan (1104) ada raja perwira
yuda. Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa
ibu. Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda
bakti.
Rangga Rajasa nama beliau, penggempur musuh
pahlawan bijak.
2.
Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi
terkenal subur
makmur. Di situlah tempat putera sang Girinata menunaikan
darmanya.
Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat,
meneguhkan
Negara. Ibu Negara bernama Kutaraja,
penduduknya sangat terganggu.
3.
Tahun Saka Lautan Dadu Siwa (1144)
beliau melawan raja
Kediri.
Sang adiperwira Kretajaya, putus sastra serta
tatwopadesa. Kalah ketakutan, melarikan diri ke dalam biara
kecil. Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati
terbunuh.
4.
Setelah kalah narapati
Kediri, Jawa di dalam ketakutan. Semua
raja datang menyembah membawa tanda bakti hasil tanah.
Bersatu Janggala Kediri
dibawah kuasa satu raja sakti. Cikal
bakal para raja agung yang akan memerintah Pulau Jawa.
5.
Makin bertambah besar kuasa dan megah
putera sang
Girinata.
Terjamin
keselamatan
Pulau
Jawa
selama
menyembah kakinya. Tahun Saka Muka Lautan Rudra (1149)
beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai
Siwa, di Usaha bagai Budha.
Pupuh 41
1.
Bhatara
Anusapati,
putera
Baginda,
berganti
dalam
kekuasaan.
Selama pemerintahannya, tanah Jawa kokoh
sentosa,
bersembah bakti. Tahun Saka Perhiasan Gunung
Sambu
(1170) beliau pulang ke Siwaloka. Cahaya
beliau
diwujudkan arca Siwa gemilang di candi makam Kidal.
2.
Bhatara Wisnuwardhana, putera Baginda, berganti
dalam
kekuasaan.
Beserta Narasinga bagai Madawa dengan Indra
memerintah serta segenap pengikutnya. Takut semua musuh
kepada beliau, sungguh titisan Siwa di Bumi.
3.
Tahun Saka Rasa Gunung Bulan (1176)
Bhatara Wisnu
menobatkan
puteranya. Segenap rakyat Kediri Janggala
berduyun‐duyun ke pura
mangastubagia.
4.
Raja
Kertanegara
nama
gelarannya,
tetap
demikian
seterusnya.
Daerah Kutaraja bertambah makmur, berganti
nama Praja Singasari.
5.
Tahun Saka Awan Sembilan Mengebumikan Tanah (1192) raja
Wisnu berpulang. Dicandikan di Waleri berlambang arca Siwa,
di Jajago arca Budha. Sementara itu Bhatara Narasingamurti
pun pulang ke Surapada. Dicandikan di Wengker, di Kumeper
diarcakan bagai Siwa Mahadewa.
6.
Tersebutlah Sri Baginda Kertanegara membinasakan perusuh
penjahat. Bernama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga
mengalahkan
bulan (1192). Tahun Saka naga bermuka rupa
(1197)
Baginda menyuruh menundukkan Melayu. Berharap
Melayu takut kedewaan beliau tunduk begitu sahaja.
Pupuh 42
1.
Tahun Saka janma suny surya (1202)
Baginda raja
memberantas
penjahat Mahisa Rangga, karena jahat
tingkahnya dibenci seluruh Negara. Tahun Saka badan langit
surya
(1206) mengirim utusan menghancurkan Bali. Setelah
kalah rajanya menghadap
Baginda sebagai seorang tawanan.
2.
Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah
Baginda.
Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur
dihadapan
beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari
mencari
perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan,
sebab sudah terang setanah Jawa.
3.
Jauh dari tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal
dan bijak. Faham akan segala seluk beluk pemerintahan sejak
zaman Kali. Karenanya, tawakal dalam agama dan tapa untuk
teguhnya
ajaran Budha. Menganut jejak para leluhur
demi
keselamatan seluruh praja.
Pupuh 43
1.
Menurut kabaran sastra raja Pandawa
memerintah sejak
zaman Dwapara. Tahun saka lembu gunung indu tiga (3179)
beliau
pulang ke Budhaloka. Sepeninggalnya datang zaman
kali, dunia murka, timbul huru‐hara. Hanya Bhatara raja yang
faham dalam
nam guna, dapat menjaga jagat.
2.
Itulah sebabnya baginda teguh bakti
menyembah kaki
Sakyamuni. Teguh tawakal memegang pancasila, laku utama,
upacara suci gelaran Jina beliau yang sangat masyhur ialah Sri
Jnyanabadreswara. Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain
pengetahuan agama.
3.
Berlomba‐lomba beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan.
Pertama
tantra Subuti diselami, intinya masuk ke
hati.
Melakukan
puja, yoga, samadi demi keselamatan seluruh
praja.
Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah
kepada rakyat
murba.
4.
Diantara para raja yang lampau tidak ada yang setara beliau.
Faham
akan nam guna, sastra, tatwopadesa, pengetahuan
agama
adil, teguh dan Jinabrata dan tawakal
kepada laku
utama.
Itulah sebabnya beliau turun temurun
menjadi raja
pelindung.
5.
Tahun saka laut janma bangsawan yama
(1214) Baginda
pulang
ke Jinalaya. Berkat pengetahuan beliau tentang
upacara,
ajaran agama, beliau diberi gelaran: Yang
mulia
bersemayam di alam Siwa‐Budha. Di makam beliau bertegak
arca Siwa‐Budha terlampau indah permai.
6.
Di sagala ditegakkan pula arca Jina
sangat bagus dan
berkesan.
Serta arca Ardanareswari bertunggal dengan Sri
Bajradewi.
Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan
kesuburan
Negara.
Hyang
Wairocana‐Locana
bagai
lambangnya pada arca tunggal, terkenal.
Pupuh 44
1.
Tatkala Sri Baginda Kertanagara pulang ke
Budhabuana,
merata takut, duka, huru hara, laksana zaman kali kembali.
Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat
berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
2.
Tahun saka laut manusia (1144)
itulah sirnanya raja Kertajaya.
Atas perintah Siwaputera Jayasaba berganti jadi raja. Tahun
saka
delapan satu satu (1180)
Sastrajaya raja Kediri. Tahun
tiga Sembilan siwa raja (1193) Jayakatwang raja terakhir.
3.
Semua raja berbakti kepada cucu Girinata.
Segenap pulau
tunduk
kepada kuasa Raja Kertanagara. Tetapi raja
Kediri
Jayakatwang membuta dan mendurhaka. Ternyata dunia tak
baka akibat bahaya anak piara Kali.
4.
Berkat keulungan sastra dan keuletannya jadi
raja sebentar
saja. Lalu ditundukan putera Baginda; ketentraman kembali.
Sang
menantu Dyah Wijaya, itu gelarnya yang
terkenal di
dunia. Bersekutu dengan bangsa Tartar, menyerang melebut
Jayakatwang.
Pupuh 45
1.
Sepeninggal Jayakatwang jagat gilang cemerlang
kembali.
Tahun
saka masa rupa surya (1216) beliau
menjadi raja.
Disembah
di Majapahit, kesayangan rakyat, pelebur musuh
bergelar Sri Narapati Kretarajasa Jayawardana.
2.
Selama Kretarajasa Jayawardana duduk di tahta, seluruh Jawa
bersatu
padu, tunduk menengadah. Girang memandang
pasangan
Baginda empat jumlahnya. Puteri Kertanegara
cantik‐cantik bagai bidadari.
Pupuh 46
1.
Sang Prameswari Tribuwana yang sulung, luput dari cela. Lalu
Prameswari Mahadewi, rupawan tak bertara. Prajnyaparamita
Jayendra
dewi, cantik manis menawan hati. Gayatri
yang
bungsu, paling terkasih digelari Rajapatni.
2.
Perkawinan beliau dalam kekeluargaan tingkat
tiga. Karena
Bhatara Wisnu dengan Bhatara Narasingamurti. Akrab tingkat
pertama; Narasingamurti menurunkan Dyah Lembu Tal. Sang
perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Budha.
Pupuh 47
1.
Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata. Dalam hidup atut
runtut
sepakat sehati. Setitah raja diturut,
menggirangkan
pandang. Tingkah laku mereka semua meresapkan.
2.
Tersebut tahun saka tujuh orang
dan surya (1217) Baginda
menobatkan
puteranya di Kediri. Perwira, bijak, pandai,
putera Indreswari. Bergelar Sang Raja Putera Jayanagara.
3.
Tahun saka surya mengitari tiga bulan
(1231) Sang orabu
mangkat,
ditanam di dalam pura Antahpura, begitu
nama
makam beliau. Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.
Pupuh 48
1.
Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta. Dan
dua
orang puteri keturunan Rajapatni, terlalu
cantik. Bagai
Dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari. Yang
sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani di Daha.
2.
Tersebut pada tahun saka mukti guna memaksa rupa (1238)
bulan
madu baginda Jayanagara berangkat ke Lumajang
menyirnakan
musuh. Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi
sekeluarga
dibinasakan. Giris miris segenap jagat melihat
keperwiraan Sri Baginda.
3.
Tahun saka bulatan memanah surya (1250) beliau berpulang.
Segera
dimakamkan di dalam pura berlambang arca
Wisnuparama. Di sila petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu
terlalu indah. Di sukalila terpahat arca Budha sebagai jelmaan
Amogasidi.
Pupuh 49
1.
Tahun saka uma memanah dwi rupa
(1256) Rani Jiwana
Wijayatunggadewi
bergilir
mendaki
tahta
Wilwatikta
didampingi raja putera
Singasari.
2.
Atas perintah ibunda Rajapatni sumber bahagia dan pangkal
kuasa. Beliau jadi pengemban dan pengawas raja muda, Sri
Baginda Wilwatikta.
3.
Tahun Saka Api memanah ari (1253) Sirna musuh di sadeng,
Keta
diserang. Selama bertahta, semua terserah kepada
menteri bijak, Mada namanya.
4.
Tahun saka panah musim mata pusat (1265) Raja Bali yang
alpa
dan rendah budi diperangi, gugur bersama
balanya
menjauh segala yang jahat, tenteram.
5.
Begitu ujar Dang Acarya Ratnamsah. Sungguh mengharukan
ujar
Sang Kaki. Jelas keunggulan Baginda di
dunia. Dewa
asalnya, titisan Girinata.
6.
Barangsiapa mendengar kisah raja, tak puas
hatinya. Pasti
takut
melakukan tindak jahat, menjauhkan diri
dari tindak
durhaka.
7.
Paduka empu minta maaf berkata: “Hingga
sekian kataku,
sang
rakawi. Semoga bertambah pengetahuanmu, Bagai
buahnya gubahlah pujasastra”
8.
Habis jamuan rakawi dengan sopan minta
diri kembali ke
Singasari.
Hari surut sampai pesanggrahan lagi. Paginya
berangkat menghadap Baginda.
Pupuh 50
1.
Tersebut Baginda Raja berangkat berburu. Berlengkap dengan
senjata,
kuda dan kereta. Dengan bala ke hutan
Nandawa,
rimba
belantara. Rungkut rimbun penuh gelagah rumput
rampak.
2.
Bala bulat beredar membentuk lingkaran. Segera siap kereta
berderet rapat. Hutan terkepung, terperanjat kera menjerit.
Burung ribut beterbangan berebut dulu.
3.
Bergabung sorak orang berseru dan membakar.
Gemuruh
bagaikan deru lautan mendebur. Api tinggi menyala menjilat
udara. Seperti waktu hutan Kandawa terbakar.
4.
Lihat rusa‐rusa
lari lupa daratan. Bingung berebut dahulu
dalam
rombongan. Takut miris menyebar, ingin
lekas lari
malah menengah berkumpul tumpuk timbun.
5.
Banyaknya bagai benteng di dalam Gobajra.
Penuh sesak
bagai lembu di Wresabapura. Celeng, banteng, rusa, kerbau,
kelinci, biawak, kucing, kera, badak dan lainnya.
6.
Tertangkap segala binatang dalam hutan. Tak
ada yang
menentang,
semua bersatu. Srigala gagah, yang bersikap
tegak‐teguh. Berunding dengan singa sebagai ketua.
Pupuh 51
1.
Izinkanlah saya bertanya kepada raja satwa.
Sekarang raja
merayah
hutan, apa yang diperbuat? Menanti mati
sambil
berdiri ataukah kita lari Atau tak gentar serentak melawan,
jikalau diserang?
2.
Seolah‐olah
demikian kata serigala dalam rapat. Kijang,
kasuari, rusa dan kelinci serempak menjawab: “Hemat patik,
tidak ada jalan lain kecuali lari. Lari mencari keselamatan diri
sedapat mungkin.”
3.
Banteng, kerbau, lembu serta harimau
serentak berkata:
“Amboi!
Celaka bang kijang, sungguh binatang
hina lemah.
Bukanlah
sifat perwira lari atau menanti mati.
Melawan
dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
4.
Jawab singa: “Usulmu berdua memang pantas
diturut. Tapi
harap dibedakan yang dihadapi baik atau buruk. Jika penjahat,
terang kita lari atau kita lawan. Karena sia‐sia belaka jika mati
terbunuh olehnya.
5.
Jika kita menghadapi tripaksa, resi Siwa‐Budha seyogyanya
kita
ikuti saja jejak sang pendeta. Jika
menghadapi raja
terburu, tunggu mati saja. Tak usah engkau merasa enggan
menyerahkan hidupmu.
6.
Karena raja berkuasa mengakhiri hidup
makhluk, Sebagai
titisan
Bhatara Siwa berupa narpati. Hilang segala
dosanya
makhluk yang dibunuh beliau. Lebih utama daripada terjun ke
dalam telaga.
7.
Siapa diantara sesame akan jadi musuhku? Kepada Tripaksa
aku takut, lebih utama menjauh. Niatku jika berjumpa raja,
akan menyerahkan hidup. Mati olehnya, tak akan lagi bagai
binatang.”
Pupuh 52
1.
Bagaikan katanya: “Marilah berkumpul!” Kemudian serentak
maju
berdesak. Prajurit darat yang terlanjur
langkahnya
tertahan tanduk satwa, lari kembali.
2.
Tersebut adalah prajurit berkuda. Bertemu
celeng sedang
berdesuk kumpul. Kasihan! Beberapa mati terbunuh dengan
anaknya dirayah tak berdaya.
3.
Lihatlah celeng jalang maju menerjang.
Berempat, berlima,
gemuk, tinggi, marah, buas membekos‐bekos, matanya merah
liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Pupuh 53
1.
Tersebut pemburu kijang rusa riuh seru menyeru. Ada satu
yang
tertusuk tanduk, lelah lambat jalannya.
Karena luka
kakinya, darah deras meluap‐luap. Lainnya mati terinjak‐injak,
menggelimpang kesakitan.
2.
Bala kembali berburu, berlengkap tombak
serta lembing.
Berserak kijang rusa di samping bangkai bertumpuk timbun.
Banteng
serta binatang galak lainnya bergerak menyerang.
Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
3.
Ada yang lari berlindung di jurang, semak, kayu rimbun. Ada
yang
memanjat pohon, ramai mereka berebut puncak.
Kasihanilah
yang memanjat pohon tergelincir ke bawah!
Betisnya segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!
4.
Segera kawan‐kawan
datang menolong dengan kereta.
Menombak, melembing, menikam, melanting, menjejak‐jejak.
Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh. Lari
terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
5.
Ada pendeta Siwa‐Budha
yang turut menombak, mengejar
disengau
harimau, lari diburu binatang mengancam. Lupa
akan
segala darma, lupa akan tata sila,
turut melakukan
kejahatan, melupakan darmanya.
Pupuh 54
1.
Tersebutlah baginda telah mengendarai kereta
kencana.
Tinggi
lagi indah ditarik lembu yang tidak
takut bahaya.
Menuju
hutan belantara, mengejar buruan ketakutan. Yang
menjauhkan diri lari bercerai‐berai meninggalkan bangkai.
2.
Celeng, kaswari, rusa, dan kelinci tinggal
dalam ketakutan.
Baginda
berkuda mengejar yang riuh lari bercerai‐berai.
Menteri,
tanda, dan pujangga di punggung kuda turut
memburu.
Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong,
tertusuk, tertikam.
3.
Tanahnya luas lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang.
Itulah
sebabnya kijang dengan mudah dapat diburu
kuda.
Puaslah
hati baginda, sambil bersantap dihadap pendeta.
Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Pupuh 55
1.
Terlangkahi betapa narpati sambil berburu
menyerap sari
keindahan.
Gunung dan hutan, kadang‐kadang kepayahan
kembali
ke rumah perkemahan. Membawa wanita seperti
cengkerama;
di hutan bagai menggempur Negara. Tahu
kejahatan satwa, beliau tak berdosa terhadap darma
ahimsa.
2.
Tersebutlah beliau bersiap akan pulang,
rindu kepada
keindahan
pura. Tatkala subakala berangkat menuju Banyu
Hanget,
Banir dan Talijungan. Bermalam di Wedwawedan,
siangnya
menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar.
Garuntang,
Pagar Telaga, Pahanjangan, sampai disitu
perjalanan beliau.
3.
Siangnya perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke
Belanak.
Menuju Pandakan, Banaragi, sampai Pandamayan
beliau
lalu bermalam. Kembali ke Selatan, ke
Barat menuju
Jejawar di kaki gunung berapi. Disambut penonton bersorak
gembira, menyekar sebentar di candi makam.
Pupuh 56
1.
Adanya candi makam tersebut sudah sejak
zaman dahulu.
Didirikan oleh Sri Kertanegara, moyang baginda raja. Di situ
hanya
jenazah beliau saja yang dimakamkan. Karena
beliau
dulu memeluk dua agama Siwa‐Budha.
2.
Bentuk candi berkaki Siwa, berpuncak Budha, sangat tinggi.
Didalamnya terdapat arca Siwa, indah tak dapat dinilai. Dan
arca Maha Aksobhya bermahkota tinggi tak bertara. Namun
telah hilang; memang sudah layak, tempatnya di nirwana.
Pupuh 57
1.
Konon kabarnya tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang. Ada
pada Baginda guru besar, masyhur, pada Paduka. Putus tapa,
sopan suci penganut pendeta Sakyamuni. Telah terbukti bagai
mahapendeta, terpundi sasantri.
2.
Senang berziarah ke tempat suci, bermalam di candi. Hormat
mendekati
Hyang arca suci, khidmat berbakti sembah.
Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi suci. Ditanya,
mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
3.
Pada Paduka menjelaskan sejarah candi makam suci. Tentang
adanya
arca Aksobya indah, dahulu di atas.
Sepulangnya
kembali
lagi ke candi menyampaikan bakti, kecewa!
Tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
4.
Tahun Saka Api Memanah Halilintar (1253) itu hilangnya arca.
Waktu
hilangnya halilintar menyambar candi ke dalam.
Benarlah
kabaran pendeta besar bebas dari prasangka.
Bagaimana membangun kembali candi tua terbengkalai?
5.
Tiada ternilai indahnya, sungguh seperti surge turun. Gapura
luar,
mekala serta bangunanya serba permai.
Hiasang di
dalamnya nagapuspa yang sedang berbunga. Disisinya lukisan
puteri istana berseri‐seri.
6.
Sementara
Baginda
girang
cengkrama
menyerap
pemandangan.
Pakis berserak di tengah tebar bagai bulu
dada.
Ketimur arahnya dibawah terik matahari, Baginda
meninggalkan candi, pekalongan girang ikut jurang curam.
Pupuh 58
1.
Tersebut dari Jajawa Baginda berangkat ke Desa Padameyan.
Berhenti di Cunggrang, mencari pemandangan, masuk hutan
rindang. Kea rah asrama para pertapa di lereng kaki gunung
menghadap
jurang. Luang jurang ternganga‐nganga ingin
menelan orang yang memandang.
2.
Habis menyerap pemandangan, masih pagi kereta telah siap.
Ke
Barat arahnya menuju gunung melalui
jalannya dahulu.
Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang menjemput.
Yang
tinggal di pura iri kepada yang
gembira pergi
menghadap.
3.
Pukul tiga itulah waktu baginda bersantap
bersama‐sama.
Paling muka duduk baginda, lalu dua paman berturut tingkat.
Raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak jauhan
di sisi Sri Baginda; terlangkahi betapa lamanya bersantap.
Pupuh 59
1.
Paginya pasukan kereta Baginda berangkat lagi. Sang pujangga
menyidat
jalan ke Rabut, Tugu, Pengiring. Singgah di
Pahyangan,
menemui kelompok sanak kadang. Dijamu
sekadarnya, karena kunjungannya mendadak.
2.
Banasara dan Sangkan Adoh telah dilalui. Pukul dua Baginda
telah sampai di perbatasan kota. Sepanjang jalan berdesuk‐
desuk, gajah, kuda, pedati, kerbau, banteng dan prajurit darat
sibuk berebut jalan.
3.
Teratur rapi mereka berarak di dalam deretan. Narpati Pajang,
permaisuri dan pengiring paling muka. Di belakangnya, tidak
jauh
, berikut narapati Lasem. Terlampau indah
keretanya,
menyilaukan yang memandang.
4.
Rani Daha, Rani Wengker semuanya urut
belakang. Disusul
rani Jiwana bersama laki dan pengiring. Bagai penutup kereta
Baginda
serombongan besar. Diiringi beberapa ribu oerwira
dan para menteri.
5.
Tersebutlah orang yang rapat tampak menambak tepi jalan.
Berjejal
ribut menanti kereta Baginda berlintas. Tergopoh‐
gopoh
perempuan ke pintu berebut tempat. Malahan
ada
yang lari telanjang lepas sabuk lainnya.
6.
Yang jauh tempatnya, memanjat kekayu berebut tinggi. Duduk
berdesak‐desakan di dahan, tak pandang tua muda. Bahkan
ada
juga yang memanjat batang kelapa kuning.
Lupa malu
dilihat orang, karena terpekur memandang.
7.
Gemuruh dengung gong menampuk Sri Baginda raja datang.
Terdiam duduk merunduk segenap orang di jalanan. Setelah
raja lalu, berarak pengiring di belakang. Gajah, kuda, keledai,
kerbau berduyun beruntun‐runtun.
Pupuh 60
1.
Yang berjalan rampak berarak‐arak. Barisan pikulan berjalan
belakang. Lada, kesumbu, kapas, buah kelapa, buah pinang,
asam dan wijen terpikul.
2.
Di belakangnya oemikul barang berat.
Sengkeyegan lambat
berbimbingan
tangan kanan menuntun kirik dan kiri genjik.
Dengan ayam itik di keranjang merunduk.
3.
Jenis barang terkumpul dalam pikulan. Buah
kecubung,
rebung,
slundang, cempaluk, nyiru, kerucut, tempayan,
dulang, periuk gelaknya seperti hujan panah jatuh.
4.
Tersebut Baginda telah masuk pura. Semua bubar ke rumah
masing‐masing. Ramai
bercerita tentang hal yang lalu.
Membuat girang semua sanak kadang.
Pupuh 61
1.
Waktu lalu; Baginda tak lama di istana. Tahun saka dua gajah
bulan (1282) Badrapada, beliau berangkat menuju Tirib dan
Sempur. Nampak sangat banyak binatang di dalam hutan.
2.
Tahun saka tiga badan dan bulan (1283) Waisaka, baginda raja
berangkat menyekar ke Palah. Dan mengunjungi Jumble untuk
menghibur hati. Di Lawang Wentar, Blitar menentramkan cita.
3.
Dari Blitar ke selaan jalannya mendaki. Puhonnya jarang, layu
lesu kekurangan air. Sampai Lodaya bermalam beberapa hari.
Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
4.
Meninggalkan
Lodaya
menuju
desa
Simping.
Ingin
memperbaiki candi makam leluhur. Menaranya rusak, dilihat
miring ke barat. Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.
Pupuh 62
1.
Perbaikan disesuaikan dengan bunyi prasasti, yang dibaca lagi.
Diukur
panjang lebarnya; disebelah timur sudah ada
tugu
asrama gurung‐gurung diambil sebagai denah candi makam.
Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara.
2.
Waktu pulang mengambil jalan Jukung, Jnyanabadra terus ke
timur.
Berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di
candi
Surabawana. Paginya berangkat lagi, berhenti di Bekel, sore
sampai pura. Semua pengiring bersowang sowing pulang ke
rumah masing‐masing.
Pupuh 63
1.
Tersebut paginya Sri Naranata dihadapan
para menteri
semua.
Dimuka para Arya, lalu Pepatih, duduk
teratur di
Manguntur. Patih Amangkubumi Gadjah Mada tampil ke muka
sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak
boleh diabaikan”.
2.
Atas perintah Sang Rani Sri Tribuwana
Wijayatunggadewi,
supaya pesta Serada Sri Rajapatni dilangsungkan Sri Baginda.
Di
istana pada tahun saka bersirah empat
(1284) bulan
Badrapada.
Semua pembesar dan wredda menteri diharap
memberi sumbangan.”
3.
Begitu kata sang patih dengan ramah,
membuat gembira
Baginda. Sorenya datang para pendeta, para budiman, sarjana
dan menteri yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja
sebagai
kepala. Bersama‐sama
membicarakan biaya di
hadapan Sri Baginda.
4.
Tersebutlah sebelum bulan Badrapada menjelang
surutnya
Srawana. Semua pelukis berlipat giat menghias “tempat singa”
di
setinggil. Ada yang mengetam baik makanan,
bokor‐
bokoran, membuat arca. Pandai emas dan perak turut sibuk
bekerja membuat persiapan.
Pupuh 64
1.
Ketika saatnya tiba, tempat telah teratur
sangat rapi. Balai
Witana
terhias indah, dihadapan rumah‐rumahan. Satu
diantaranya
berkaki batu karang, bertiang merah. Indah
dipandang, semua menghadap kea rah tahta Baginda.
2.
Barat, mandapa dihias janur rumbai, tempat duduk para raja.
Utara, serambi dihias berlapis ke timur, tempat duduk. Para
isteri,
pembesar, menteri dan pujangga, serta pendeta.
Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi.
3.
Demikian persiapan Sri Baginda memuja Budha Sakti. Semua
pendeta Budha berdiri dalam lingkaran
bagai saksi. Melakukan
upacara,
dipimpin oleh pendeta Stapaka. Tenang, sopan,
budiman faham tentang sastra tiga tantra.
4.
Umumnya melintasi seribu bulan, masih
belajar tutur.
Tubuhnya sudah rapuh, selama upacara harus dibantu. Empu
dari
Paruh selaku pembantu berjalan di
lingkaran. Mudra,
tantra, dan japa dilakukan tepat menurut aturan.
5.
Tanggal dua belas nyawa dipanggil dari
surge dengan doa.
Disuruh
kembali atas doa dan upacara yang sempurna.
Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia.
Dipimpin
Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucapkan
puja.
Pupuh 65
1.
Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan
untuk upacara/
Gemuruh
disambut dengan dengung salung, tambur,
terompet
serta gendering. Didudukkan diatas singgasana,
besarnya
setinggi orang berdiri. Berderet beruntun‐runtun
semua pendeta tua muda memuja.
2.
Berikut para raja, parameswari
dan putera mendekati arca.
Lalu patih dipimpin Gadjah Mada maju ke muka berdatangan
sembah. Para bupati pesisir dan pembesar daerah dari empat
penjuru.
Habis berbakti sembah, kembali mereka semua
duduk rapi teratur.
3.
Sri Nata Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan
sedap. Bersusun timbun seperti pohon dan sirih bertutup kain
sutera. Persembahan raja Matahun arca banteng putih seperti
lembu
Nandini. Terus menerus memuntahkan harta dan
makanan dari mulutnya.
4.
Raja wengker mempersembahkan sajian berupa rumah
dengan taman bertingkat. Disertai penyebaran harta di lantai
balai
besar berhambur‐hamburan.
Elok persembahan raja
Tumapel
berupa perempuan cantik manis dipertunjukkan
selama upacara untuk menharu‐rindukan hati.
5.
Paling hebat persembahan Sri Baginda berupa gunung besar
Mandara.
Digerakkan oleh sejumlah dewa dana danawa
dhsyat
menggusarkan pandang. Ikan lembora besar
berlembak‐lembak
mengebaki kolam bujur lebar. Bagaikan
sedang
mabuk diayun gelombang ditengah‐tengah lautan
besar.
6.
Tiap hari persajian makanan yang
dipersembahkan dibagi‐
bagi.
Agar para wanita, menteri, pendeta dapat
makanan
sekenyangnya. Tidak terlangkahi para
ksatria, arya dan abdi di
pura. Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada
bala tentara.
Pupuh 66
1.
Pada
hari
keenam
pagi
Sri
Baginda
bersiap
mempersembahkan
persajian. Pun para ksatria
dan
pembesar mempersembahkan rumah‐rumahan yang terpikul.
Dua
orang pembesar mempersembahkan perahu yang
melukiskan
kutipan kidung. Seperahu sungguh besarnya,
diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan.
2.
Esoknya Patih Mangkubumi Gadjah Mada sore‐sore
menghadap
sambil menghaturkan persajian. Berbagai
ragamnya, berduyun‐duyun, ada yang berupa perahu, gunung,
rumah, ikan…
3.
Sungguh‐sungguh
mengagumkan persembahan Baginda raja
pada hari yang ketujuh. Beliau menabur harta, membagi‐bagi
bahan pakaian dan hidangan makanan. Luas merata kepada
empat kasta, dan terutama kepada para pendeta. Hidangan
jamuan kepada pembesar abdi dan niata mengalir bagai air.
4.
Gemeruduk dan gemuruh para penonton dari segenap arah,
berdesak‐sesak. Ribut
berebut tempat melihat peristiwa di
balai agung serta pura leluhur. Sri Nata menari di balai Witana
khusus untuk para puteri dan para istri. Yang duduk rapat rapi
berimpit,
ada
yang
ngelamun
karena
tercengang
memamndang.
5.
Segala macam kesenangan yang menggembirakan hati rakyat
diselenggarakan.
Nyanyian, wayang, topeng silih berganti
setiap hari dengan paduan suara. Tari perang prajurit, yang
dahsyat
berpukul‐pukulan,
menimbulkan gelak mengakak.
Terutama
derma
kepada
orang
yang
menderita
membangkitkan gembira rakyat.
Pupuh 67
1.
Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat.
Pasti
membuat gembira jiwa Sri Rajapatni yang
sudah
mangkat. Semoga beliau melimpahkan berkat kepada Baginda
raja.
Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan
dan
surya.
2.
Paginya pendeta Budha datang menghormati, memuja dengan
sloka.
Arwah Prajnyaparamita yang sudah berpulang ke
Budhaloka.
Segera arca bunga diturunkan kembali dengan
upacara. Segala macam makanan dibagikan kepada segenap
abdi.
3.
Lodang lega rasa Baginda melihat perayaan langsung lancer.
Karya
yang masih menunggu, menyempurnakan candi di
Kamal Pandak. Tanahnya telah disucikan tahun dahana tujuh
surya (1274) dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh
Jnyanawidi.
Pupuh 68
1.
Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya. Dan
Sri
Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa
dibelah karena
cinta raja Erlangga kepada kedua puteranya.
2.
Ada pendeta Budhamajana putus dalam tantra
dan yoga.
Diam di tengah kuburan Lemah Cittra, jadi pelindung rakyat.
Waktu
ke Bali berjalan kaki, tenang menapak
di air lautan.
Hyang Mpu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman.
3.
Girang beliau menyambut permintaan Erlangga
membelah
Negara.
Tapal batas Negara ditandai air
kendi, mancur dari
langit. Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara, selatan.
Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
4.
Turun dari angkasa sang pendeta berhenti
di pohon asam.
Selesai tugas kendi suci ditaruhkan di dusun Palungan. Marah
terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya mengait jubah.
Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil.
5.
Itulah tugu batas gaib yang tidak akan mereka lalui. Itu pula
sebabnya dibangun candi, memadu Jawa lagi. Semoga baginda
serta
rakyat tetap tegak, teguh, waspada. Berjaya
dalam
memimpin Negara, yang sudah bersatu padu.
Pupuh 69
1.
Prajnaparamitapuri itulah nama candi makam yang dibangun.
Arca Sri Rajapatni diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Telah
lanjut
usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu
Negara.
Laksana titisan Empu Bharada, menggembirakan hati Baginda.
2.
Di Bayalangu akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni.
Pendeta
Jnyanawidi lagi yang ditugaskan memberkahi
tanahnya.
Rencananya telah disetujui oleh sang menteri
demung Boja. Wisesapura namanya, jika candi sudah berdiri
sempurna dibangun.
3.
Candi makam Sri Rajapatni tersohor sebagai tempat keramat.
Tiap bulan Badrapada disekar oleh para menteri dan pendeta.
Di
tiap daerah, rakyat serentak membuat
peringatan dan
memuja. Itulah surganya, berkat berputera, bercucu narendra
utama.
Pupuh 70
1.
Tersebut pada tahun saka angin delapan
utama (1285)
baginda
menuju Simping demi pemindahan candi makam.
Siap
lengkap segala persajian tepat menurut adat.
Pengawasnya Rajaparakrama memimpin upacara.
2.
Faham tentang tatwopadesa dan kepercayaan Siwa.
Memangku jabatannya semenjak mangkat Kertarajasa. Ketika
menegakkan
menara dan mekala gapura. Bangsawan agung
Arya Krung, yang diserahi menjaganya.
3.
Sekembalinya dari Simping, segera masuk
pura. Terpaku
mendengar
Adimenteri
Gadjah
Mada
sakit.
Pernah
mencurahkan
tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali
serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.
Pupuh 71
1.
Tahun saka tiga angin utama (1253)
beliau mulai memikul
tanggung jawab. Tahun rasa (1286) beliau mangkat; Baginda
gundah,
terharu bahkan putus asa. Sang Dibyacita
Gadjah
Mada cinta kepada sesame tanpa pandang bulu. Insaf bahwa
hidup tidak baka, karenanya beramal tiap hari.
2.
Baginda segera bermusyawarah dengan kedua
rama serta
ibunda. Kedua adik dan kedua ipar tentang calon pengganti Ki
Patih
Mada yang layak akan diangkat hanya
calon yang
sungguh mengenal tabiat rakyat. Lama timbang menimbang,
tetapi seribu sayang tidak ada yang memuaskan.
3.
Baginda berpegang teguh. Adimenteri Gadjah Mada tak akan
diganti.
Bila karenanya timbul keberatan, beliau sendiri
bertanggung
jawab.
Memilih
enam
menteri
yang
menyampaikan urusan Negara ke istana. Mengetahui segala
perkara, sanggup tunduk kepada pimpinan Baginda.
Pupuh 72
1.
Itulah putusan rapat tertutup. Hasil yang
diperoleh
perundingan. Terpilih sebagai wredda menteri karib Baginda
bernama Mpu Tadi.
2.
Penganut karib Sri Baginda Nata. Pahlawan perang bernama
Mpu
Nala. Mengetahui budi pekerti rakyat. Mancanegara
bergelar
tumenggung.
3.
Keturunan orang cerdik dan setia. Selalu memangku pangkat
pahlawan. Pernah menundukkan Negara Dompo, Serba ulet
menanggulangi musuh.
4.
Jumlahnya bertambah dua menteri. Bagai
pembantu utma
Baginda. Bertugas mengurus soal perdata. Dibantu oleh para
upapati.
5.
Mpu Dami menjadi menteri muda. Selalu
ditaati di istana.
Mpu
Singa diangkat sebagai saksi. Dalam segala
perintah
Baginda.
6.
Demikianlah titah Sri Baginda Nata. Puas, taat, teguh segenap
rakyat. Tumbuh tambah hari setia baktinya. Karena Baginda
yang memerintah.
Pupuh 73
1.
Baginda makin keras berusaha untuk dapat
bertindak lebih
bijak.
Dalam pengadilan tidak serampangan, tapi tepat
mengikuti
undang‐undang.
Adil segala keputusan yang
diambil,
semua pihak merasa puas. Masyhur nama
beliau,
mampu menembus zaman, sungguhlah titisan Bhatara.
2.
Candi makam serta bangunan para leluhur
sejak zaman
dahulu kala yang belum siap diselesaikan, dijaka dan dibina
dengan seksama. Yang belum punya prasasti disuruh buatkan
piagam
oleh ahli sastra. Agar kelak jangan sampai
timbul
perselisihan, jikalau sudah temurun.
3.
Jumlah candi makam raja seperti berikut,
mulai dengan
Kagenengan disebut pertama karena tertua: Tumapel, Kidal,
Jajagu,
Wedwawedan. Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa‐jawa,
Antang Trawulan Kalang, Brat dan Jago. Lalu Blitar, Sila Petak,
Ahrit, Waleri, Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.
Pupuh 74
1.
Makam rani: Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura
serta candi Budi Kuncir, bangunan baru Prajnyaparamitapuri
di Bayalangu yang baru saja dibangun.
2.
Itulah dua puluh tujuh candi raja. Pada Saka tujuh guru candra
(1287) bulan Badra, dijaga petugas atas perintah raja. Diawasi
oleh pendeta ahli sastra.
Pupuh 75
1.
Pembesar yang bertugas mengawasi seluruhnya sang
Wiradikara orang utama, yang seksama dan tawakal membina
semua
candi. Setia kepada baginda, hanya memikirkan
kepentingan bersama. Segan mengambil keuntungan berapa
pun penghasilan candi makam.
2.
Desa‐desa
perdikan ditempatkan di bawah perlindungan
Baginda
Darmadyaksa Kasewan bertugas membina tempat
ziarah
dan pemujaan. Darmadyaksa Kasogatan disuruh
menjaga
biara kebudhaan. Menteri ber‐haji bertugas
memelihara semua pertapaan.
Pupuh 76
1.
Desa perdikan Siwa yang bebas dari pajak: Biara Relung Kunci,
Kapulungan,
Roma, Wwatan, Iswaragreha, Palabdi, Tanjung,
Kutalamba, begitu pula Taruna. Parahyangan, Kuti Jati, Candi
Lima,
Nilakusuma, Harimananda, Uttamasuka, Prasada‐haji,
Sadeng, Panggumpulan, Katisanggraha. Begitu pula Jayasuka.
2.
Tak ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi
Pangkal,
Pigir, Nyudonto, Katuda, Srangan, Kapukuran,
Dayamuka,
Kalinandana, Kanigara, Rambut, Wuluhan,
Kinawung,
Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula
Campen, Ratimanatasrama, Kula, Kaling ditambah sebutan lagi
Batu Putih.
3.
Desa perdikan kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara,
Kutahaji,
Jantraya, Rajadanya, Kuswanata, Surayasa, Jarak,
Lagundi,
serta Wadari. Wewe Pacekan, Pasuruan, Lemah
Surat,
Sangan serta Pangiketan. Panghawan, Damalang,
Tepasjita, Wanasrama, Jenar, Samudrawela, dan Pamulang.
4.
Baryang Amretawardani, Wetlwetihn, Kawinayan Patemon
serta
Kanuruhan. Engtal, Wengker, Banyu Jiken,
Batabata,
Pagagan, Sibok dan Engtal Wetan. Pindatuha, telang, Suraba,
itulah
yang terpenting, sebuah suka Sukalila. Tak
disebut
perdikan
tambahan seperti Pogara, Kulur, Tangkil, dan
sebagainya.
Pupuh 77
1.
Selanjutnya, disebut berturut desa kebudhaan
Bjradara:
Isanabajra, Naditara, Mukuh, Sambang, Tanjung, Amretasaba,
Bangbang,
Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan
Tadata.Tidak
juga
terlangkahi
Kumuda,
Ratna
serta
Nadinagara.
2.
Wungajaya, Palandi, Tangkil, Asahing, Samici, serta Acitahen.
Nairanjana,
Wijayawaktra,
Mageneng,
Pojahan,
dan
Balamasin. Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan
serta Kahuripan. Keraki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi
Wisnuwala.
3.
Badur, Wirun, WUngkilur, Mananggung, Watukura
serta
Bajrasana. Pajambayan, Salaten, Simapura, Tambvak Laleyan,
Pilangu, Pohaji, Wangkali, Biru, Lembah, Dalinan, Pangadwan
yang
terakhir. Itulah desa kebudhaan Bajradara
yang sudah
berprasasti.
Pupuh 78
1.
Desa Keresian seperti berikut: Sampud,
Rupit dan Pilan.
Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ
terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air. Yang mulia
Mahaguru
– demikian sebutan beliau.
2.
Yang diserahi tugas menjaga sejak dulu
menurut piagam.
Selanjutnya
desa perdikan tanpa candi, diantaranya yang
penting: Bangawan Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah
Kali
dan Twas. Wasita, Palah, Padar, Siringan.
Itulah desa
perdikan Siwa.
3.
Wangjang Bajrapura, Wanara, Makiduk, Hansen,
Guha dan
Jiwa. Jumpud, Soba, Pamuntaran dan Baru, perdikan Budha
utama.
Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagri,
Centing, Wekas.
Wandira,
Wandayan, Gatawang, Kulapayan dan Talu
pertapaan resi.
4.
Desa perdikan Wisnu berserak di Barwan serta Kamangsian,
Batu, Tanggulian, Dakulut, Galuh, Makalaran, itu yang penting.
Sedang, Medang, Hulun Hyan, Parung Langge, Pasajan, Kelut,
Andelmat,
Pradah, Geneng, Panggawan, sduah sejak lama
bebas pajak.
5.
Terlewati segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa. Begitu
pula
asrama tetap yang bercandi serta yang
tidak. Yang
bercandi menerima bantuan tetap dari Baginda raja. Begitu
juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
Pupuh 79
1.
Telah diteliti sejarah berdirinya segala desa di Jawa. Perdikan,
candi,
tanah pusaka, daerah dewa, biara dan
dukuh. Yang
berpiagam
dipertahankan, yang tidak segera diperintahkan
pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja.
2.
Segenap desa sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker.
Raja Singasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk salurannya.
Petugas
giat menepati perintah, berpegang kepada aturan.
Segenap
penduduk jawa patuh mengindahkan perintah
baginda raja.
3.
Semua tata aturan patuh diturut oleh
Pulau Bali. Candi,
asrama,
pesanggrahan telah diteliti sejarah tegaknya.
Pembesar kebudhaan Baduhulu, Badaha Lo Gajah ditugaskan
membina
segenap candi, bekerja rajin dan mencatat
semuanya.
Pupuh 80
1.
Perdikan kebudhaan Bali seperti berikut:
Biara Baharu
(Hanyar),
Kadikaranan, Purwanagara, Wirabahu, Adiraja,
Kuturan.
Itulah
enam
kebudhaan
Bajradara,
biara
kependetaan.
Terlangkahi biara dengan bantuan Negara
seperti Arya‐dadi.
2.
Berikut candi makam di Bukit Sulang,
Lemah Lampung dan
Anyawasuda,
Tatagatapura, Grehastadata, sangat masyhur,
dibangun atas piagam pada tahun saka Angkasa Rasa Surya
(1260) oleh Sri Baginda Jiwana. Yang memberkahi tanahnya,
membangun candinya:
upasaka wredda menteri.
3.
Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri.
Terjaga
dan terlindungi segala bangunan setiap orang
budiman.
Begitulah tabiat raja utama, Berjaya, berkuasa,
perkasa.
Semoga kelak para raja sudi membina semua
bangunan suci.
4.
Maksudnya agar musnah semua durjana dari
muka bumi
laladan.
Itulah tujuan melintas, menelusur dusun‐dusun
sampai
di tepi laut. Menentramkan hati pertapa,
yang rela
tinggal di pantai, gunung dan hutan. Lega bertapa brata dan
bersamadi demi kesejahteraan
Negara.
Pupuh 81
1.
Besarlah minat Baginda untuk tegaknya
tripaksa. Tentang
piagam
beliau bersikap agar tetap diindahkan.
Begitu pula
tentang pengeluaran undang‐undang, supaya laku utama, tata
sila dan adat‐tutur diperhatikan.
2.
Itulah sebabnya sang caturdwija
mengejar laku utama. Resi,
Wipra, pendeta Siwa Budha teguh mengindahkan tutur. Catur
Asrama
terutama
catur basma tunduk rungkup tekun.
Melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara.
3.
Semua anggota empat kasta teguh mengindahkan ajaran.
Para
menteri dan arya pandai membina urusan
Negara. Para puteri
dan ksatria berlaku sopan, berhati teguh. Waisya dan Sudra
dengan gembira menepati tugas darmanya.
4.
Empat kasta yang lahir sesuai dengan
keinginan Hyang
Mahatinggi.
Konon, tunduk rungkup kepada kuasa dan
perintah
baginda. Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga
golongan
terbawah, Candala, Mleca dan Tuca mencoba
mencabut cacat‐cacatnya. Begitulah tanah Jawa pada zaman
pemerintahan Sri Nata.
Pupuh 82
1.
Penegakan bangunan – bangunan suci membuat
gembira
rakyat. Baginda menjadi teladan di dalam menjalankan enam
darma. Para ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah
laku sang prabu.
2.
Sri Nata Singasari membuka lading luas di daerah Sagala. Sri
Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang.
Mendirikan perdikan Budha di Rawi, Locanapura, Kapulungan.
Baginda sendiri membuka
lading Watsari di Tigawangi.
3.
Semua menteri mengenyam tanah palenggahan yang cukup
luas.
Candi, Biara dan Lingga utama dibangun
tak ada
putusnya.
Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur,
para
pendeta. Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak
Sri Nata.
Pupuh 83
1.
Begitulah keluhuran Sri Baginda ekanata di Wilwatikta. Terpuji
bagaikan
bulan di musim gugur, terlalu indah
terpandang.
Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti teratai putih.
Abdi,
harta, kereta, gajah, kuda berlimpah‐limpah bagai
samudera.
2.
Bertambah masyhur keluhuran Pulau Jawa di
seluruh jagat
raya. Hanya Jambudwipa dan Pulau Jawa yang disebut Negara
utama. Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati, tujuh
jumlahnya. Panji Jiwalekan dan Tenggara yang menonjol bijak
di dalam kerja.
3.
Masyhurlah nama pendeta Brahmaraja bagai
pujangga, ahli
tutur. Putus dalam
tarka, sempurna dalam seni kata serta ilmu
naya. Hyang Brahma, sopan, suci, ahli weda, menjalankan nam
laku
utama. Bhatara Wisnu dengan cipta dan
mantera
membuat sejahtera
Negara.
4.
Itulah sebabnya berduyun‐duyun tamu asing datang
berkunjung dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa
dan Kamataka. Goda serta Saim mengarungi lautan bersama
para
pedagang. Resi dan pendeta, semua merasa
puas
menetap dengan senang.
5.
Tiap bulan Palguna Sri Nata dihormati
di seluruh Negara.
Berdesak‐desak para pembesar, empat penjuru, para prabot
desa
hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali
mengaturkan
upeti. Pekan penuh sesak pembeli penjual,
barang terhampar di dasaran.
6.
Berputar keliling gamelan dalam tanduan di arak rakyat ramai.
Tiap bertabuh tujuh kali, pembawa sajian menghadap ke pura.
Korban
api, ucapan mantra dilakukan para pendeta
Siwa‐
Budha.
Mulai tanggal delapan petang demi keselamatan
Baginda.
Pupuh 84
1.
Tersebut pada tanggal empat belas bulan
petang, Baginda
berkirap.
Selama kirap keliling kota busana Baginda
serba
kencana. Ditatang jempana kencana, panjang berarak beranur
runtun.
Menteri, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian
seragam.
2.
Mengguntur gaung gong dan salung, disambut
terompet
meriah
sahut menyahut. Bergerak barisan pujangga
menampung beliau dengan puja
sloka. Gubahan kawi raja dari
pelbagai kota dari seluruh jawa.Tanda bakti Baginda perwira
bagai Rama, mulia bagai Sri Kresna.
3.
Telah naik Baginda di tahta mutu‐manikam, bergebar pencar
sinar.
Seolah‐olah Hyang
Trimurti datang mengucapkan puji
astuti.
Yang Nampak, semua serba mulia, sebab
Baginda
memang raja agung. Serupa jelmaan Sang Sudodana putera
dan Jina bawana.
4.
Sri Nata Pajang dengan Sang Permaisuri berjalan paling muka.
Lepas
dari Singgasana yang diarak pengiring terlalu
banyak.
Menteri
Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi
satu
kelompok. Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa
panji dan tunggul.
5.
Raja Lasem dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya.
Lalu Raja Kediri dengan permaisuri serta menteri dan tentara.
Berikut maharani
Jiwana dengan suami dan para pengiring.
Sebagai penutup Baginda dan para pembesar seluruh Jawa.
6.
Penuh berdesak‐desak para penonton ribut berebut tempat.
Di
tepi jalan kereta dan pedati berjajar rapat memanjang. Tiap
rumah mengibarkan bendera dan panggung membujur sangat
panjang. Penuh sesak perempuan tua muda, berjejal berimpit
–impitan.
7.
Rindu sendu hatinya seperti baru pertama
kali menonton.
Terlangkahi peristiwa pagi, waktu Baginda mendaki setinggil.
Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci didulang berukir.
Menteri
serta pembesar tampil ke muka menyembah
bersama‐sama.
Pupuh 85
1.
Tanggal satu bulan Caitra bala tentara
berkumpul bertemu
muka. Menteri, perwira, para arya dan pembantu raja semua
hadir. Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota.
Begitu pula para
ksatria, pendeta, dan Brahmana utama.
2.
Maksud pertemuan agar para warga
mengelakkan watak
jahat.
Tetapi menganut ajaran Rajakapakapa, dibaca tiap
Caitra. Menghindari tabiat jahat, seperti suka mengambil milik
orang.
Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan
masyarakat.
Pupuh 86
1.
Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar. Di utra kota
terbentang
lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi
Baginda,
naik tandu bersudut tiga. Diarak abdi
berjalan,
membuat kagum tiap orang.
2.
Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke
timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa
ke utara bertemu tebing sungai. Dikelilingi bangunan menteri
di dalam kelompok.
3.
Menjulang sangat tinggi bangunan besar di
tengah padang.
Tiangnya
penuh berukir dengan isi dongeng parwa.
Dekat
disebelah
baratnya bangunan serupa istana. Tempat
menampung Baginda di panggung pada bulan Caitra.
Pupuh 87
1.
Panggung berjajar membujur ke utara
menghadap barat.
Bagian
utara dan selatan untuk para raja dan
arya. Para
menteri dan dyaksa duduk teratur menghadap timur. Dengan
pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya.
2.
Disitulah Baginda member rakyat santapan mata: pertunjukan
perang tanding, perang pukul, desuk mendesuk, perang keris,
adu tinju, tarik tambang, menggembirakan sampai tiga empat
hari lamanya baru selesai.
3.
Seberangkat Baginda, sepi lagi, panggungnya
dibongkar.
Segala
perlombaan bubar; rakyat pulang bergembira. Pada
Caitra bulan petang Baginda menjamu para pemenang. Yang
pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian.
Pupuh 88
1.
Segenap ketua desa dan wedana tetap
tinggal, paginya
mereka dipimpin Arya Ranadikara menghadap baginda minta
diri
di pura. Bersama Arya Mahadikara, kepala
pancatanda
dan padelegan. Sri Baginda duduk di atas tahta, dihadap para
abdi dan pembesar.
2.
Berkatalah Sri Nata Wengker di hadapan para pembesar dan
wedana: “Wahai, tunjukkan cinta serta setai baktimu kepada
Baginda
raja. Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah
memajukan
dusunmu. Jembatan, Jalan Raya, Beringin,
Bangunan dan Candi supaya dibina.
3.
Terutama dataran tinggi dan sawah, agar
tetap subur,
peliharalah.
Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh
ketangan petani besar. Agar penduduk jangan sampai terusir
dan
mengungsi ke desa tetangga. Tepati segala
peraturan
untuk membuat desa bertambah
besar.
4.
Sri Nata Kartawardhana setuju dengan
anjuran pembesar
desa. “Harap dicatat nama penjahat dan pelanggaran setiap
akhir
bulan. Bantu pemeriksaan tempat durjana, terutama
pelanggar
susila. Agar bertambah kekayaan baginda demi
kesejahteraan
Negara.
5.
Kemudian bersabda Baginda Nata Wilwatikta memberi
anjuran: “Para Budiman yang berkunjung kemari, tidak boleh
dihalang‐halangi.
Rajakarya, terutama beacukai, pelawang,
supaya dilunasi. Jamuan kepada para tetamu budiman supaya
diatur pantas.
Pupuh 89
1.
Undang‐undang
sejak pemerintahan ibunda harus ditaati.
Hidangan
makanan sepanjang hari harus dimasak pagi‐pagi.
Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan,
biar mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya.
2.
Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan.
Jika
desa rusak, Negara akan kekurangan bahan
makanan.
Kalau tidak ada tentara, Negara lain mudah menyerang kita.
Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”.
3.
Begitulah perintah Baginda kepada wedana,
yang tunduk
mengangguk. Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan
perintah
beliau. Menteri, upapati, serta para pembesar
menghadap
bersama. Tepat pukul tiga mereka berkumpul
untuk bersantap bersama.
4.
Bangunan sebelah timur laut telah dihiasi gilang cemerlang. Di
tiga sudut ruang para
wedana duduk teratur menganut sudut.
Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang serba emas.
Segera deretan depan berhadap‐hadapan di muka Baginda.
5.
Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa,
madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman
purba
makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus,
keledai
dan katak. Jika dilanggar mengakibatkan hinaan
musuh, mati dan noda.
Pupuh 90
1.
Dihidangkan santapan untuk orang banyak.
Makanan serba
banyak
serba sedap. Berbagai‐bagai ikan laut dan
ikan
tambak. Berderap cepat datang menurut acara.
2.
Daging katak, cacing, keledai, tikus, anjing hanya dihidangkan
kepada para penggemar. Karena asalnya dari berbagai desa
mereka diberi kegemaran, biar puas.
3.
Mengalir berbagai minuman keras segar: Tuak nyiur, Tal, Arak
kilang,
tuak rumbya. Itulah hidangan minuman utama.
Wadahnya emas berbentuk aneka ragam.
4.
Porong dan guci berdiri terpencar‐pencar. Berisi
minuman
keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir.
Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk.
5.
Merdu merayu nyanyian para biduan. Melagukan puji‐pujian
Sri Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis
lalu waktu, berhenti gelak gurau.
Pupuh 91
1.
Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah. Diikuti
lagu,
sambil bertandak memilih pasangan. Solah
tingkahnya
menarik
gelak, menggelikan pandangan. Itulah sebabnya
mereka memperoleh hadiah kain.
2.
Disuruh menghadap baginda, diajak minum bersama. Menteri
upapati berurut minum bergilir menyanyi. Nyanyian
Manghuri
Kandamuhi dapat sorak pujian. Baginda berdiri, mengimbangi
ikut melaras lagu.
3.
Tercengang dan terharu hadirin mendengar
suara merdu.
Semerbak meriah bagai gelak merak di dahan kayu. Seperti
madu
bercampur dengan gula terlalu sedap manis.
Resap
membaru kalbu bagai desiran buluh perindu.
4.
Arya Ranadikara lupa bahwa Baginda berlaku bersama Arya
Mahadikara, mendadak berteriak bahwa para pembesar ingin
beliau menari topeng.
“Ya!” jawab beliau; segera masuk untuk
persiapan.
5.
Sri Kertawardana tampil ke depan menari
panjak. Bergegas
lekas panggung disiapkan ditengah mandapa. Sang permaisuri
berhias
jamang laras menyanyikan lagu. Luk suaranya
mengharu rindu, tingkahnya memikat hati.
6.
Bubar mereka itu ketika Sri Baginda
keluar. Lagu rayuan
Baginda bergetar menghanyutkan rasa, Diiringkan rayuan sang
permaisuri
rapi rupendah. Resap meremuk rasa merasuk
tulang sumsum pendengar.
7.
Sri Baginda warnawan telah mengenakan
tampuk topeng.
Delapan
pengiringnya dibelakang, bagus, bergas pantas
keturunan
arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya.
Inilah
sebabnya banyolannya selalu tepat kena.
8.
Tari Sembilan orang telah dimulai dengan
banyolan. Gelak
tawa
terus menerus, sampai perut kaku beku.
Babak yang
sedih
meraih tangis, mengaduk haru dan rindu.
Tepat
mengenai sasaran menghanyutkan hati penonton.
9.
Silam matahari waktu lingsir, perayaan
berakhir. Para
pembesar minta diri mencium duli paduka. Katanya: “Lenyap
duka oleh suka, hilang dari bumi!”. Terlangkahi pujian Baginda
waktu masuk istana.
Pupuh 92
1.
Begitulah suka mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita.
Terang baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat
dan Negara. Meskipun masih muda dengan suka rela berlaku
bagai titisan Budha. Dengan laku utama beliau memadamkan
api kejahatan durjana.
2.
Terus membumbung ke angkasa kemasyhuran dan
keperwiraan
Sri Baginda. Sungguh beliau titisan Bhatara
Girinata
untuk menjaga buana. Hilang dosanya orang
yang
dipandang dan musnah letanya abdi yang disapa.
3.
Inilah sebabnya keluhuran beliau masyhur terpuji di tiga jagat.
Semua orang tinggi, sedang dan rendah menuturkan kata‐kata
pujian. Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung
tempat
berlindung. Berusia panjang sebagai bulan dan
matahari cemerlang menerangi bumi.
Pupuh 93
1.
Semua pendeta dari tanah asing menggubah pujian Baginda.
Sang
pendeta Budhaditya menggubah rangkaian sloka
Bogawali. Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di
Jambudwipa.Brahma Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian
slokaindah.
2.
Begitu pula para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra.
Bersama‐sama merumpaka sloka pujasastra untuk nyanyian.
Yang
terpenting pujasastra di prasasti, gubahan
upapati
Sudarma.
Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di
dalam istana.
Pupuh 94
1.
Mendengar pujian para pujangga pura
bergetar mencakar
udara, Prapanca bangkit turut memuji Baginda, meski tak akan
sampai
pura. Maksud pujiannya agar Baginda gembira
jika
mendengar gubahannya. Berdoa demi kesejahteraan Negara,
terutama Baginda dan rakyat.
2.
Tahun saka gunung gajah budi dan janma (1287) bulan Aswina
hari
purnama. Siaplah kakawin pujaan tentang
perjalanan
keliling
Negara. Segenap desa tersusun dalam rangkaian,
pantas disebut Desawarnana. Dengan maksud, agar Baginda
ingat jika membaca hikmat kalimat.
3.
Sia‐sia lama bertekun menggubah kakawin menyurat di atas
daun
lontar. Yang pertama “Tahun Saka”, yang
kedua
“Lambang”
kemudian “Parwasagara”. Berikut yang keempat
“Bismacarana”, akhirnya cerita “Sugataparwa”. Lambang dan
Tahun
Saka masih akan diteruskan, sebab memang
belum
siap.
4.
Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah
kakawin, terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat
pujasastra
berupa karya kakawiin, sederhana tentang
rangkaian sejarah desa. Apa boleh buat harus berkorban rasa,
pasti akan ditertawakan.
Pupuh 95
1.
Nasib badan dihina oleh para bangsawan, canggung tinggal di
dusun.
Hati gundah kurang senang, sedih, rugi
tidak
mendengar
ujar manis. Teman karib dan orang budiman
meninggalkan
tanpa belas kasihan. Apa gunanya mengenai
ajaran kasih, jika tidak
diamalkan?
2.
Karena kemewahan berlimpah, tidak ada minat
untuk
beramal.
Buta, tuli, tak Nampak sinar memancar dalam
kesedihan,
kesepian. Seyogyanya ajaran sang Mahamuni
diresapi
bagai pegangan. Mengharapkan kasih yang tak
kunjung datang, akan membawamati muda.
3.
Segera bertapa brata di lereng gunung,
masuk ke dalam
hutan. Membuat rumah dan tempat persajian ditempat sepi
dan bertapa. Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana,
tingg‐tinggi. Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah lama
dikenal.
Pupuh 96
1.
Prapanca itu pra lima buah. Cirinya:
cakapnya lucu, pipinya
sembab, matanya ngeliyap, gelaknya terbahak‐bahak.
2.
Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru. Bodoh tidak menuruti
ajaran
tutur. Carilah pimpinan yang baik dalam
tatwa.
Pantasnya ia dipukul berulang kali.
Pupuh 97
1.
Ingin menyamai Mpu Winada. Mengumpulkan
harta benda.
Akhirnya hidup sengsara. Tapi tetap tinggal tenang.
2.
Winada mengejar jasa. Tanpa ragu uang dibagi. Terus bertapa
brata. Mendapat pimpinan hidup.
3.
Sungguh handal dalam yuda. Yudanya belum
selesai ingin
mencapai nirwana, jadi pahlawan pertapa.
Pupuh 98
1.
Beratlah bagi para pujangga menyamai
Winada, bertekun
dalam tapa. Membalas dengan cinta kasih perbuatan mereka
yang
senang menghina orang‐orang yang puas dalam
ketenangan
dan menjauhkan diri dari segala tingkah,
menjauhkan
diri dari kesukaan dan kewibawaan dengan
harapan akan memperoleh faedah. Segan meniru perbuatan
mereka yang dicacat dan dicela di dalam pura.